Wednesday 9 October 2013

SOSIALISASI UNDANG-UNDANG RI NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA ( KDRT)

Oleh : Evi Purnama Wati, SH. MH

 

 

I.         Sekilas Tentang UU No. 23 Tahun 2004

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkannya dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.

Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian dari setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, Negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.

Pandangan Negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, beserta perubahannya. Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakuatan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga.

Pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara umum didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan.

Disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan momen sejarah bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi kaum perempuan dan kelompok masyarakat lainnya yang memiliki kepedulian terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan. Lahirnya undang-undang tersebut merupakan bagian dari penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi.

Sementara itu, sistem hukum dan sosial yang ada tidak memberikan perlindungan dan pelayanan yang cukup pada para korban. Rumusan-rumusan dalam aturan perundang-undangan yang masih bersifat diskriminatif dan tidak efektif dalam memberikan akses hukum dan keadilan, merupakan hambatan bagi kaum perempuan untuk eksis.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 ini dilandasi oleh berbagai pertimbangan, antara lain bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Dengan demikian, segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

Pada kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) banyak terjadi. Adapun sistem hukum di Indonesia belum mejamin perlindungan terhadap korban kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah :

“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga” (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 disebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi :

1.    Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi :

a.    Suami, istri, dan anak;

b.    Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan

c.    Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

2.    Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Adapun asas dan tujuan disusunnya undang-undang ini tercantum dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 sebagai berikut :

Bunyi Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 :

“Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas :

a.    Penghormatan hak asasi manusia;

b.    Keadilan dan kesetaraan gender;

c.    Nondiskriminasi; dan

d.    Perlindungan korban.”

Di muka telah disebutkan bahwa kaum perempuan mempunyai hak asasi yang sama dengan hak asasi kaum laki-laki. Adapun yang dimaksudkan dengan “kesetaraan gender” adalah suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi kebutuhan dan kelangsungan rumah tangga secara proporsional. Selanjutnya, asas yang ke-3 adalah nondiskriminasi.

Selanjutnya, asas ke-4 menyebutkan adanya perlindungan korban. Yang dimaksud dengan perlindungan adalah :

“Segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokad, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.” (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

Selanjutnya, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengatur tentang tujuan disusunnya undang-undang tersebut, yaitu :

Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan :

1.    Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;

2.    Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;

3.    Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan

4.    Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah sosial, bukan masalah keluarga yang perlu disembunyikan. Hal ini tertuang dalam aturan yang tercantum dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang  berbunyi :

“Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.”

Untuk mewujudkan ketentuan Pasal 11 tersebut, pemerintah :

1.    Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;

2.    Menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;

3.    Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;

4.    Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

Kemudian untuk penyelenggaraan pelayanan korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya :

1.    Penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;

2.    Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;

3.    Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban;

4.    Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah sosial, sehingga diharapkan setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :

1.    Mencegah berlangsungnya tindak pidana;

2.    Memberikan perlindungan kepada korban;

3.    Memberikan pertolongan darurat;

4.    Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan (Pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

Dalam hal ini yang dimaksud dengan perintah perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban.

 

II.      Peran Aparat Penegak Hukum Dalam Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Salah satu terobosan hukum yang dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) adalah mengenai peran-peran Aparat Penegak Hukum, khususnya kepolisian, advokat, dan pengadilan dalam memberikan perlindungan dan pelayanan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga terutama sekali dengan diaturnya mengenai mekanisme perlindungan dari pengadilan demi keamanan korban (Bab 6).

Berikut ini adalah peran mereka dalam melindungi dan melayani korban, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

 

 

1.    Peran Kepolisian (Pasal 16-20)

Saat kepolisian menerima laporan mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga, mereka harus segera menerangkan mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan. Selain itu, sangat penting pula bagi pihak Kepolisian untuk memperkenalkan identitas mereka serta menegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan sehingga sudah menjadi kewajiban dari Kepolisian untuk melindungi korban.

Setelah menerima laporan tersebut, langkah-langkah yang harus diambil Kepolisian adalah :

a.    Memberikan perlindungan sementara pada korban;

b.    Meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

c.    Melakukan penyelidikan.

 

2.    Peran Advokat (Pasal 25)

Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan bagi korban maka advokat wajib :

a.    Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;

b.    Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau

c.    Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.

 

 

 

 

 

3.    Peran Pengadilan

Sementara itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak luput mengatur bagaimana peran pengadilan dalam memberikan perlindungan terhadap korban, khususnya mengenai pelaksanaan mekanisme perintah perlindungan.

Seperti telah disebutkan di muka, bahwa Kepolisian harus meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Maka setelah menerima permohonan itu, pengadilan harus :

a.    Mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain (Pasal 28);

b.    Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk menetapkan suatu kondisi khusus yakni pembatasan gerak pelaku, larangan memasuki tempat tinggal bersama, larangan membuntuti, mengawasi atau mengintimidasi korban (Pasal 31).

Apabila terjadi pelanggaran perintah perlindungan, maka korban dapat melaporkan hal ini ke kepolisian, kemudian secara bersama-sama menyusun laporan yang ditujukan kepada pengadilan. Setelah itu, pengadilan wajib memanggil pelaku untuk mengadakan penyelidikan dan meminta pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan. Apabila pelaku tetap melanggar surat pernyataan itu, maka pengadilan dapat menahan pelaku sampai 30 hari lamanya (Pasal 38).

Dalam memberikan perlindungan terhadap korban ini, Aparat Penegak Hukum dapat  bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Yang secara tegas telah diuraikan dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.

 

 

4.    Peran Tenaga Kesehatan

Setelah mengetahui adanya kasus kekerasan dalam rumah tangga, maka petugas kesehatan berkewajiban untuk memeriksa kesehatan korban, kemudian membuat laporan tertulis mengenai hasil pemeriksaan serta membuat visum et repertum atau surat keterangan medis lain yang memiliki kekuatan hukum untuk dijadikan alat bukti.

 

5.    Peran Pekerja Sosial

Dalam melayani korban kasus kekerasan dalam rumah tangga, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pekerja sosial :

a.    Melakukan konseling untuk menguatkan korban;

b.    Menginformasikan mengenai hak-hak korban;

c.    Mengantarkan korban ke rumah aman (shelter);

d.    Berkoordinasi dengan pihak Kepolisian, dinas sosial dan lembaga lain demi kepentingan korban.

 

6.    Peran Pembimbing Rohani

Demi kepentingan korban, maka pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman serta takwa.

 

7.    Peran Relawan Pendamping

Sementara itu, salah satu terobosan hukum lain dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah diaturnya perihal peran dari Relawan Pendamping. Menurut undang-undang ini, ada beberapa hal yang menjadi tugas dari relawan pendamping, yakni :

a.    Menginformasikan mengenai hak korban untuk mendapatkan seorang atau lebih pendamping;

b.    Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban agar dapat memaparkan kekerasan yang dialaminya secara objektif dan lengkap;

c.    Mendengarkan segala penuturan korban;

d.    Memberikan penguatan kepada korban secara psikologis maupun fisik (LBH APIK, 2005).

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

 

Soesilo R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Penerbit Politea, Bogor, 1983

 

United Nations Population Fund in Indonesia, Jakarta, 2005

 

Yeni Roslaini, Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Sumatera Selatan, dalam Pembangunan di Sumatera Selatan, editor Abdul Wahib Situmorang, Yayasan Pustaka Indonesia, Palembang, 2005.

 

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

 

 

0 comments:

Post a Comment