Wednesday 10 April 2013

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN SEBAGAI KETIMPANGAN GENDER

Oleh
Evi Purnama Wati, SH., MH


A.      LATAR BELAKANG
Apa yang dimaksud dengan pemberdayaan perempuan (women empoweriment)? Pemberdayaan perempuan mempunyai makna dimana perempuan melakukan suatu gerakan dari diri mereka sendiri, karena adanya suatu tantangan yang dihadapinya.[1]
Dalam era reformasi ini terbuka lebar bagi setiap warga Negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Dengan adanya pembaharuan hukum, pemberdayaan perempuan dalam pembangunan di bidang politik telah diwujudkan dengan terpilihnya seorang perempuan sebagai Presiden yang juga selaku Kepala Negara memegang pimpinan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang kita cintai ini merupakan kebanggaan kita bersama.
Pemberdayaan perempuan sering berkaitan dengan hak-hak yang dipunyai perempuan dalam relasi atau hubungannya dengan laki-laki yang seringkali menimbulkan masalah.
Bahwa kemampuan sama sekali tidak terkait dengan jenis kelamin, tetapi kehidupan publik mensyaratkan kualifikasi tersebut bilamana kesempatan di mungkinkan.
Prinsip dasar dalam Konvensi Wanita adalah persamaan substantif, non diskriminasi dan prinsip kewajiban negara.
Peran yurisprudensi yang berperspektif gender, seharusnya dimanfaatkan secara optimal untuk pemberdayaan perempuan dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Keberhasilan pemberdayaan perempuan dimaksud, sepenuhnya tergantung pada pelaksanaan penerapan dan penegak hukum yang diperankan oleh aparat penyelenggara Negara dan oleh kaum perempuan sendiri.
Ketimpangan hubungan dalam keluarga juga tampak melalui pengaturan kehamilan. Menerima atau tidaknya untuk ber-KB lebih sering ditentukan oleh suami, yang “mengijinkan” isterinya menjadi akseptor. Menolak hubungan badan dengan suami jarang terjadi karena doktrin agama yang menganggap isteri akan berdosa bila menolak. Dalam masyarakat Jawa, umpamanya, masih berlaku nilai-nilai yang mencerminkan subordinasi perempuan, seperti ungkapan “kanca winking” (teman pendamping) atau swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka terbawa). Ungkapan tersebut mengandung arti bahwa perempuan tidak dapat melampaui suaminya dan perempuan tidak berdaya dan tidak berkuasa atas dirinya.
Pada pola asimetris/ ketidaksetaraan antara suami isteri, mengasumsikan satu pihak sebagai kepala/pemimpin, pelindung, penanggung jawab, oleh karena ia yang kuat, memiliki akses keluar, pemilik kuasa (informasi, ekonomi) sekaligus kontrol pengambilan keputusan. Sementara pihak lain dianggap lemah, sub-ordinat, ang harus dikepalai/pengikut (karenanya harus patuh), dilindungi, dibatasi ruang lingkupnya. Maka, dengan pola hubungan seperti ini akan memberi peluang munculnya kekerasan terhadap perempuan, terutama bila salah satu pihak mengikuti atau keluar dari pola yang ada.
Dalam hukum waris pengaruh adat dan agama tidak dapat diabaikan. Salah satu aturan gender dalam adat dapat kita lihat dalam soal pewarisan di tiga bentuk sistem masyarakat adat, yakni patrilineal, matrilineal dan bilateral.
Dalam masyarakat patrilineal, seperti diwakili oleh Suku Batak, Palembang, dan juga Lampung dalam kasus di atas, anak laki-laki akan tetap menuntut rumah keluarga sebagai bagian warisan. Sekalipun dalam kenyataannya saudara perempuanlah yang mengurus rumah, bahkan ikut bekerja keras membantu orang tua guna menghidupi saudara laki-lakinya, termasuk membiayai sekolah/perantauannya.
Sedangkan dalam masyarakat matrilineal, yang diwakili olah Suku Minangkabau, warisan “pusaka tinggi” diwariskan kepada anggota keluarga menurut garis ibu. Sekalipun demikian mamaklah (paman laki-laki) yang memiliki kekuasaan pengaturannya. Seringkali mamak juga ikut mengambil bagian dari warisan tersebut, dan bahkan menguasainya. Adapun dalam masyarakat bilateral, seperti di Jawa, pembagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1, atau di kenal dalam istilah “sepikul segendong”. Namun sering kali anak perempuan yang terkecil di biarkan menguasai rumah keluarga dan kelak dijadikan sebagai miliknya. Terhadap hal ini, saudara laki-lakinya tidak akan menuntut.
Di bidang ekonomi, krisis ekonomi telah memarjinalkan perempuan dengan berbagai kebijakan pemerintah yang lebih ditujukan kepada kaum laki-laki dengan anggapan bahwa mereka adalah pencari nafkah. Sebagai contoh, kebijakan pekerjaan padat karya yang hanya melibatkan kaum laki-laki saja. Contoh lain, dalam data statistik, kita tidak menjumpai pendapatan selalu yang diciptakan oleh perempuan seperti menjahit, catering, atau pekerjaan dalam sektor informal. Selama ini data pendapatan selalu diambil dari para suami sebagai kepala keluarga, baik yang memiliki kerja formal ataupun informal. Padahal kita tahu banyak perempuan yang berhasil mendapatkan uang dengan cara kerja informal. Semestinya Biro Pusat Statistik memiliki data-data tersebut supaya kerja perempuan pun dihargai oleh negara masyarakat.
Reformasi yang sedang berlangsung ini bukan hanya gerakan memerangi penindasan, otoritarianisme, ketidakadilan, dan sebagainya, yang bersifat non demokratis, tetapi kita harus melihatnya sebagai proses transisi menuju demokrasi. Sekarang inilah kesempatan bagi kaum perempuan untuk mengaktualisasikan diri, serta segala bentuk subordinasi dan marjinalisasi bukan waktunya lagi tetap melekat pada diri kaum perempuan. Begitu juga setelah reformasi telah melahirkan ketimpangan dan keadilan gender dalam berbagai bidang.


B.       KONVENSI WANITA SECARA KONKRIT MENEKANKAN
Kesetaraan dan keadilan antara Perempuan dan Laki-laki (genderequality and equity), persamaan hak dan kesempatan serta perlakukan adil di segala bidang dalam semua kegiatan meskipun diakui adanya perbedaan.
1.    Perbedaan biologi/kodrati antara perempuan dan laki-laki.
2.    Perbedaan perlakuan terhadap perempuan berdasarkan gender dengan akibat dimana perempuan dirugikan :
-       Perempuan sebagai subordinasi laki-laki baik dalam keluarga maupun masyarakat.
-       Pembatasan kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang ada untuk tumbuh berkembang secara optimal, menyeluruh dan terpadu peluang untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil pembangunan.
3.    Perbedaan kondisi dan posisi perempuan terhadap laki-laki dimana perempuan berada dalam kondisi dan posisi yang lemah karena sejak sudah dipolakan adanya diskriminasi dalam budaya adat atau karena lingkungan keluarga, masyarakat yang tidak mendukung adanya kesetaraan dan kemandirian perempuan.
4.    Prinsip dasar dari Konvensi Wanita yang kita buat yaitu :
a.    Prinsip persamaan substantif.
b.    Prinsip non diskriminasi
c.    Prinsip kewajiban Negara.

C.      PRINSIP PERSAMAAN SUBSTANTIF
Prinsip persamaan substantif meliputi :
Pendekatan yang terdiri atas langkah-langkah khusus agar perempuan mempunyai akses yang sama dan dapat menikmati manfaat yang sama dengan laki-laki terhadap kesempatan pada peluang yang ada.
Contoh : secara formal ditetapkan serta berasumsi perempuan dan laki-laki adalah sama, dengan akibat harus diperlakukan sama dan mempunyai kesempatan yang sama serta masing-masing akan melaksanakan kinerja yang sama pula, namun faktanya tidak demikian. Misalnya : kesempatan kerja malam hari bagi laki-laki dan perempuan adalah sama secara de jure, ternyata bagi perempuan belum tentu dapat memanfaatkan kesempatan kerja malam tersebut, karena harus menghadapi lingkungan sosial yang tidak sama, sebab fakta dalam masyarakat mengkondisikan bahwa perempuan tidak pada tempatnya bekerja diluar rumah pada malam hari karena menghindari pelecehan atau keadaan tidak aman bagi dirinya, sehingga perempuan kalau toh keluar rumah pada waktu malam untuk bekerja akan menanggung resiko sendiri bila terjadi sesuatu terhadap dirinya. Kondisi semacam ini tidak akan terjadi pada laki-laki. Maka diperlukan pendekatan koreksi dimana perusahaan harus menyediakan transportasi antar jemput bagi pegawai perempuan. Hal ini biasanya akan menambah pengeluaran (budget) perusahaan, maka lebih baik perusahaan tidak menerima pegawai perempuan.
Langkah-langkah untuk merealisasikan hak perempuan ialah dengan menghapus adanya perbedaan, disparitas/kesenjangan atau keadaan yang merugikan perempuan misalkan : keharusan adanya perubahan pola pikir dan tingkah laku sosial budaya terhadap perempuan, menghapuskan prasangka serta kebiasaan dan praktek yang bersifat diskriminatif (untuk tidak mengganggu perempuan yang jalan sendiri di malam hari).
Kewajiban Pemerintah untuk mengembangkan kebijaksanaan dan peraturan berkaitan dengan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai persamaan substantif, hak yang sama dan persamaan legal standard antara laki-laki dan perempuan (misalnya : hak yang sama dalam keluarga, peluang kerja yang sama, pemberian gaji yang sama, kewarisan, kewarganegaraan, kesempatan di bidang politik).

D.      PRINSIP NON DISKRIMINASI
Selain sudah jelas apa pengertian diskriminasi dalam Pasal 1, dapat disimak dalam pasal 4, bahwa yang tidak dianggap diskriminasi ialah tindakan yang disebut affirmative action yaitu tindakan khusus yang bersifat sementara dengan tujuan untuk mendapatkan persamaan kesempatan dan perlakuan sama yang nyata antara perempuan dan laki-laki.
Misalnya: perlindungan kehamilan bagi perempuan (cuti hamil, cuti haid) hal ini tidak dapat dianggap sebagai pemberian kesempatan yang diskriminatif bagi pekerja laki-laki.

E.       PRINSIP KEWAJIBAN NEGARA
Menjamin hak-hak perempuan di bidang hukum dan kebijaksanaan serta jaminan kepada perempuan agar dapat menikmati hasil pelaksananya. Negara tidak saja wajib menjamin persamaan hak secara de jure (substansi hukumnya) tetapi juga dari segi de facto yaitu dengan mendorong realisasi terwujudnya hak perempuan (Pasal 2).
Misalnya: mencabut /mengamandir peraturan, kebijaksanaan, kekuasaan praktek yang diskriminatif terhadap perempuan dan mengadakan pembaharuan-pembaharuan yang sensitif gender.
Secara ringkas kewajiban Negara meliputi: mencegah diskriminasi terhadap perempuan, melarang diskriminasi perempuan, melakukan identifikasi adanya diskriminasi terhadap perempuan dan menjalankan langkah-langkah untuk mengatasinya, melaksanakan sanksi atas tindakan diskriminatif terhadap perempuan, memberikan dukungan pada penegakan hak-hak perempuan dan mendorong persamaan, kesetaraan dan keadilan melalui langkah proaktif, dan meningkatkan persamaan de facto perempuan dan laki-laki.
Rincian yang ada dalam konvensi menggambarkan bahwa perubahan sosial budaya dan ekonomi serta politik harus terjadi dan diwujudkan dalam hamper semua penghidupan yang berarti merubah peraturan termasuk mengubah pola tingkah laku yang semula diskriminatif yang telah lama dilegitimasi oleh adat dan budaya menuju pola kesetaraan dan keadilan gender. Untuk memberdayakan perempuan, sumber daya manusia adalah faktor penting yang perlu ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA
Achie Sudiart Luhulima, Analisis dan Pemikiran Pengembangan Produk dan Proses Hukum yang Adil Gender, Benih Bertumbuh Kumpulan Karangan untuk Prof. Tapi Omas Ihromi, Jogjakarta, Galang Press.
Isbodroni Suyanto, Ideologi Patriarki yang Tercermin dalam Berbagai Struktur Masyarakat, Jogjakarta, Benih Bertumbuh Kumpulan Karangan untuk Prof. Tapi Omas Ihromi, Galang Press.
10 Tahun Program Studi Kajian Wanita (2000). Perempuan Indonesia Dalam Masyarakat Yallg Tengah Bembah. Ratna Batara Munti. Aturan Hukum tentang Perkawinan dan Implikasinya pada Perempuan. Jakarta : Program Studi Kajian Wanita.
Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi (1995). Kajian Wanita dalam Pembangunan, Penggunaan Hukum sebagai Alat dalam Upaya Perbaikan Kedudukan Wanita, Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
As Hikam, Tehnologi Masih Didominasi oleh Laki-Laki, Jurnal Perempuan 18 (2001), Perempuan & Tehnologi Pembebasan? Jakarta. Yayasan Jurnal Perempuan.
Erna Sofwan Sjukrie, SH. Makalah Peran Hakim dalam Mewujudkan Keadilan Gender, Lokakarya “Hak Perempuan dan Peran Penegak Hukum”. Kerjasama Mahkamah Agung RI dengan Kelompok Kerja Convention Watch, Jakarta. 14-15 Agustus 2001.
Nursyahbani Katjasungkana, Hak Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia.
Salahudin Wahid, Peran Politik Perempuan Indonesia, Antara Kesempatan dan Kemampuan, Kompas Senin 30 Juni 2003.

Peraturan-Peraturan
UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap (Pertama 1999 – Keempat 2002)
GBHN TAP No. IV/MPR/1999, Arah Kebijakan Pemerintah di Bidang Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Karangan R. Susilo
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Edisi Revisi
UU RI No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UU RI No. 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW)
UU RI No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
UU RI No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Majelis Umum PBB Tahun 1993 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat
Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak (RANP3A)