Oleh
Evi Purnama Wati, SH., MH
A. LATAR BELAKANG
Apa
yang dimaksud dengan pemberdayaan perempuan (women empoweriment)? Pemberdayaan perempuan mempunyai makna dimana
perempuan melakukan suatu gerakan dari diri mereka sendiri, karena adanya suatu
tantangan yang dihadapinya.[1]
Dalam
era reformasi ini terbuka lebar bagi setiap warga Negara untuk memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Dengan
adanya pembaharuan hukum, pemberdayaan perempuan dalam pembangunan di bidang
politik telah diwujudkan dengan terpilihnya seorang perempuan sebagai Presiden
yang juga selaku Kepala Negara memegang pimpinan bangsa dan Negara Republik Indonesia
yang kita cintai ini merupakan kebanggaan kita bersama.
Pemberdayaan
perempuan sering berkaitan dengan hak-hak yang dipunyai perempuan dalam relasi
atau hubungannya dengan laki-laki yang seringkali menimbulkan masalah.
Bahwa
kemampuan sama sekali tidak terkait dengan jenis kelamin, tetapi kehidupan
publik mensyaratkan kualifikasi tersebut bilamana kesempatan di mungkinkan.
Prinsip
dasar dalam Konvensi Wanita adalah persamaan substantif, non diskriminasi dan
prinsip kewajiban negara.
Peran
yurisprudensi yang berperspektif gender,
seharusnya dimanfaatkan secara optimal untuk pemberdayaan perempuan dalam
rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
Keberhasilan pemberdayaan perempuan dimaksud, sepenuhnya tergantung pada
pelaksanaan penerapan dan penegak hukum yang diperankan oleh aparat
penyelenggara Negara dan oleh kaum perempuan sendiri.
Ketimpangan
hubungan dalam keluarga juga tampak melalui pengaturan kehamilan. Menerima atau
tidaknya untuk ber-KB lebih sering ditentukan oleh suami, yang “mengijinkan”
isterinya menjadi akseptor. Menolak hubungan
badan dengan suami jarang terjadi karena doktrin agama yang menganggap isteri
akan berdosa bila menolak. Dalam masyarakat Jawa, umpamanya, masih berlaku
nilai-nilai yang mencerminkan subordinasi perempuan, seperti ungkapan “kanca winking” (teman pendamping) atau swarga nunut, neraka katut (ke surga
ikut, ke neraka terbawa). Ungkapan tersebut mengandung arti bahwa perempuan
tidak dapat melampaui suaminya dan perempuan tidak berdaya dan tidak berkuasa
atas dirinya.
Pada pola asimetris/ ketidaksetaraan antara suami isteri,
mengasumsikan satu pihak sebagai kepala/pemimpin, pelindung, penanggung jawab,
oleh karena ia yang kuat, memiliki akses keluar, pemilik kuasa (informasi,
ekonomi) sekaligus kontrol pengambilan keputusan. Sementara pihak lain dianggap
lemah, sub-ordinat, ang harus dikepalai/pengikut (karenanya harus patuh),
dilindungi, dibatasi ruang lingkupnya. Maka, dengan pola hubungan seperti ini
akan memberi peluang munculnya kekerasan terhadap perempuan, terutama bila
salah satu pihak mengikuti atau keluar dari pola yang ada.
Dalam hukum waris pengaruh adat dan agama tidak dapat
diabaikan. Salah satu aturan gender dalam adat dapat kita lihat dalam soal
pewarisan di tiga bentuk sistem masyarakat adat, yakni patrilineal, matrilineal
dan bilateral.
Dalam masyarakat patrilineal, seperti diwakili oleh Suku
Batak, Palembang, dan juga Lampung dalam kasus di atas, anak laki-laki akan
tetap menuntut rumah keluarga sebagai bagian warisan. Sekalipun dalam kenyataannya
saudara perempuanlah yang mengurus rumah, bahkan ikut bekerja keras membantu
orang tua guna menghidupi saudara laki-lakinya, termasuk membiayai
sekolah/perantauannya.
Sedangkan dalam masyarakat matrilineal, yang diwakili
olah Suku Minangkabau, warisan “pusaka tinggi” diwariskan kepada anggota
keluarga menurut garis ibu. Sekalipun demikian
mamaklah (paman laki-laki) yang memiliki kekuasaan pengaturannya. Seringkali
mamak juga ikut mengambil bagian dari warisan tersebut, dan bahkan
menguasainya. Adapun dalam masyarakat bilateral, seperti di Jawa, pembagian
warisan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1, atau di kenal dalam
istilah “sepikul segendong”. Namun sering kali anak perempuan yang terkecil di
biarkan menguasai rumah keluarga dan kelak dijadikan sebagai miliknya. Terhadap
hal ini, saudara laki-lakinya tidak akan menuntut.
Di bidang ekonomi, krisis ekonomi telah memarjinalkan
perempuan dengan berbagai kebijakan pemerintah yang lebih ditujukan kepada kaum
laki-laki dengan anggapan bahwa mereka adalah pencari nafkah. Sebagai contoh,
kebijakan pekerjaan padat karya yang hanya melibatkan kaum laki-laki saja.
Contoh lain, dalam data statistik, kita tidak menjumpai pendapatan selalu yang
diciptakan oleh perempuan seperti menjahit, catering, atau pekerjaan dalam
sektor informal. Selama ini data pendapatan selalu diambil dari para suami
sebagai kepala keluarga, baik yang memiliki kerja formal ataupun informal.
Padahal kita tahu banyak perempuan yang berhasil mendapatkan uang dengan cara
kerja informal. Semestinya Biro Pusat Statistik memiliki data-data tersebut
supaya kerja perempuan pun dihargai oleh negara masyarakat.
Reformasi yang sedang berlangsung ini bukan hanya gerakan
memerangi penindasan, otoritarianisme, ketidakadilan, dan sebagainya, yang
bersifat non demokratis, tetapi kita harus melihatnya sebagai proses transisi
menuju demokrasi. Sekarang inilah kesempatan bagi kaum perempuan untuk
mengaktualisasikan diri, serta segala bentuk subordinasi dan marjinalisasi
bukan waktunya lagi tetap melekat pada diri kaum perempuan. Begitu juga setelah
reformasi telah melahirkan ketimpangan dan keadilan gender dalam berbagai bidang.
B. KONVENSI WANITA SECARA KONKRIT MENEKANKAN
Kesetaraan
dan keadilan antara Perempuan dan Laki-laki (genderequality and equity), persamaan hak dan kesempatan serta
perlakukan adil di segala bidang dalam semua kegiatan meskipun diakui adanya
perbedaan.
1. Perbedaan biologi/kodrati antara perempuan dan laki-laki.
2. Perbedaan perlakuan terhadap perempuan berdasarkan gender
dengan akibat dimana perempuan dirugikan :
- Perempuan sebagai subordinasi laki-laki baik dalam
keluarga maupun masyarakat.
- Pembatasan kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan
peluang yang ada untuk tumbuh berkembang secara optimal, menyeluruh dan terpadu
peluang untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil pembangunan.
3. Perbedaan kondisi dan posisi perempuan terhadap laki-laki
dimana perempuan berada dalam kondisi dan posisi yang lemah karena sejak sudah
dipolakan adanya diskriminasi dalam budaya adat atau karena lingkungan
keluarga, masyarakat yang tidak mendukung adanya kesetaraan dan kemandirian
perempuan.
4. Prinsip dasar dari Konvensi Wanita yang kita buat yaitu :
a.
Prinsip
persamaan substantif.
b.
Prinsip
non diskriminasi
c.
Prinsip
kewajiban Negara.
C.
PRINSIP PERSAMAAN
SUBSTANTIF
Prinsip
persamaan substantif meliputi :
Pendekatan
yang terdiri atas langkah-langkah khusus agar perempuan mempunyai akses yang
sama dan dapat menikmati manfaat yang sama dengan laki-laki terhadap kesempatan
pada peluang yang ada.
Contoh
: secara formal ditetapkan serta berasumsi perempuan dan laki-laki adalah sama,
dengan akibat harus diperlakukan sama dan mempunyai kesempatan yang sama serta
masing-masing akan melaksanakan kinerja yang sama pula, namun faktanya tidak
demikian. Misalnya : kesempatan kerja malam hari bagi laki-laki dan perempuan
adalah sama secara de jure, ternyata bagi perempuan belum tentu dapat
memanfaatkan kesempatan kerja malam tersebut, karena harus menghadapi
lingkungan sosial yang tidak sama, sebab fakta dalam masyarakat mengkondisikan
bahwa perempuan tidak pada tempatnya bekerja diluar rumah pada malam hari
karena menghindari pelecehan atau keadaan tidak aman bagi dirinya, sehingga
perempuan kalau toh keluar rumah pada waktu malam untuk bekerja akan menanggung
resiko sendiri bila terjadi sesuatu terhadap dirinya. Kondisi semacam ini tidak
akan terjadi pada laki-laki. Maka diperlukan pendekatan koreksi dimana
perusahaan harus menyediakan transportasi antar jemput bagi pegawai perempuan.
Hal ini biasanya akan menambah pengeluaran (budget)
perusahaan, maka lebih baik perusahaan tidak menerima pegawai perempuan.
Langkah-langkah
untuk merealisasikan hak perempuan ialah dengan menghapus adanya perbedaan,
disparitas/kesenjangan atau keadaan yang merugikan perempuan misalkan :
keharusan adanya perubahan pola pikir dan tingkah laku sosial budaya terhadap
perempuan, menghapuskan prasangka serta kebiasaan dan praktek yang bersifat
diskriminatif (untuk tidak mengganggu perempuan yang jalan sendiri di malam
hari).
Kewajiban
Pemerintah untuk mengembangkan kebijaksanaan dan peraturan berkaitan dengan
langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai persamaan substantif, hak yang
sama dan persamaan legal standard antara laki-laki dan perempuan (misalnya :
hak yang sama dalam keluarga, peluang kerja yang sama, pemberian gaji yang
sama, kewarisan, kewarganegaraan, kesempatan di bidang politik).
D. PRINSIP NON DISKRIMINASI
Selain
sudah jelas apa pengertian diskriminasi dalam Pasal 1, dapat disimak dalam
pasal 4, bahwa yang tidak dianggap diskriminasi ialah tindakan yang disebut
affirmative action yaitu tindakan khusus yang bersifat sementara dengan tujuan
untuk mendapatkan persamaan kesempatan dan perlakuan sama yang nyata antara
perempuan dan laki-laki.
Misalnya:
perlindungan kehamilan bagi perempuan (cuti hamil, cuti haid) hal ini tidak
dapat dianggap sebagai pemberian kesempatan yang diskriminatif bagi pekerja
laki-laki.
E. PRINSIP KEWAJIBAN NEGARA
Menjamin
hak-hak perempuan di bidang hukum dan kebijaksanaan serta jaminan kepada
perempuan agar dapat menikmati hasil pelaksananya. Negara tidak saja wajib
menjamin persamaan hak secara de jure
(substansi hukumnya) tetapi juga dari segi de
facto yaitu dengan mendorong realisasi terwujudnya hak perempuan (Pasal 2).
Misalnya:
mencabut /mengamandir peraturan, kebijaksanaan, kekuasaan praktek yang
diskriminatif terhadap perempuan dan mengadakan pembaharuan-pembaharuan yang
sensitif gender.
Secara
ringkas kewajiban Negara meliputi: mencegah diskriminasi terhadap perempuan,
melarang diskriminasi perempuan, melakukan identifikasi adanya diskriminasi
terhadap perempuan dan menjalankan langkah-langkah untuk mengatasinya,
melaksanakan sanksi atas tindakan diskriminatif terhadap perempuan, memberikan
dukungan pada penegakan hak-hak perempuan dan mendorong persamaan, kesetaraan
dan keadilan melalui langkah proaktif, dan meningkatkan persamaan de facto perempuan dan laki-laki.
Rincian
yang ada dalam konvensi menggambarkan bahwa perubahan sosial budaya dan ekonomi
serta politik harus terjadi dan diwujudkan dalam hamper semua penghidupan yang
berarti merubah peraturan termasuk mengubah pola tingkah laku yang semula
diskriminatif yang telah lama dilegitimasi oleh adat dan budaya menuju pola
kesetaraan dan keadilan gender. Untuk memberdayakan perempuan, sumber daya manusia
adalah faktor penting yang perlu ditingkatkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Achie
Sudiart Luhulima, Analisis dan Pemikiran
Pengembangan Produk dan Proses Hukum yang Adil Gender, Benih Bertumbuh
Kumpulan Karangan untuk Prof. Tapi Omas Ihromi, Jogjakarta, Galang Press.
Isbodroni
Suyanto, Ideologi Patriarki yang
Tercermin dalam Berbagai Struktur Masyarakat, Jogjakarta, Benih Bertumbuh
Kumpulan Karangan untuk Prof. Tapi Omas Ihromi, Galang Press.
10
Tahun Program Studi Kajian Wanita (2000). Perempuan
Indonesia
Dalam Masyarakat Yallg Tengah Bembah. Ratna Batara Munti. Aturan Hukum tentang Perkawinan dan
Implikasinya pada Perempuan. Jakarta
: Program Studi Kajian Wanita.
Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi (1995). Kajian Wanita dalam Pembangunan, Penggunaan Hukum sebagai Alat dalam Upaya Perbaikan Kedudukan Wanita,
Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
As Hikam, Tehnologi
Masih Didominasi oleh Laki-Laki, Jurnal Perempuan 18 (2001), Perempuan & Tehnologi Pembebasan?
Jakarta. Yayasan Jurnal Perempuan.
Erna Sofwan Sjukrie, SH. Makalah Peran Hakim dalam Mewujudkan Keadilan Gender, Lokakarya “Hak Perempuan dan Peran Penegak Hukum”. Kerjasama Mahkamah Agung RI dengan Kelompok Kerja
Convention Watch, Jakarta. 14-15 Agustus 2001.
Nursyahbani Katjasungkana, Hak Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia.
Salahudin Wahid, Peran
Politik Perempuan Indonesia, Antara Kesempatan dan Kemampuan, Kompas Senin
30 Juni 2003.
Peraturan-Peraturan
UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945
Secara Lengkap (Pertama 1999 – Keempat 2002)
GBHN TAP No. IV/MPR/1999, Arah Kebijakan Pemerintah di
Bidang Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Karangan R. Susilo
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Edisi Revisi
UU RI No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman
UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UU RI No. 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW)
UU RI No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
UU RI No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia
UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Majelis Umum PBB Tahun 1993 Deklarasi Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia
Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
Berat
Keputusan
Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak (RANP3A)