Friday 1 November 2013

PERATURAN PEMERINTAH NO.38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI DAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA


EVI PURNAMA WATI,SH.MH

NIDN: 0213037201


ABSTRAK

Pemerintahan Daerah diatur dalam bab tersendiri dalam UUD 1945, yaitu dalam Bab VI dengan judul “Pemerintah Daerah” dalam UUD RIS 1949, ketentuan mengenai hal itu termaktub dalam pasal 42-67 dan dalam UUDS 1950 dan Pasal 131 dan 132. Bahkan sejak sebelum kemerdekaan, sudah banyak pula peraturan yang dibuat untuk mengatur mengenai persoalan Pemerintahan Daerah dan Persoalan yang berkaitan dengan soal desentralisasi. Permasalahan dalam penelitian ini

Apa dan Bagaimana Bentuk Otonomi Daerah yang sebenarnya dianut di Indonesia. Hasil Penelitian. Pemerintahan Daerah adalah Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.    Pemerintahan Daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan.

 Pelaksanaan Pemerintahan Daerah yang seharusnya di dalam prakteknya haruslah sesuai dengan asas legalitas. Pemerintah daerah harus bertindak sesuai kewenangan yang berlaku. Pemerintahan Daerah tidak boleh bertindak dengan menyalahgunakan wewenang dan melampaui atau tanpa wewenang, sehingga dengan demikian dapat mewujudkan Negara sejahtera. Pemerintahan daerah di dalam menjalankan wewenangnya di dalam melaksanakan otonomi daerahnya tidak terlepas dari prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ).

 

 

Kata Kunci : Peraturan Pemerintah N0 38 Tahun 2007

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1.  Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara yang menganut bentuk Negara Kesatuan (unitary) namun hal ini akan berbeda ketika melihat dalam Sistem Pemerintahan Daerah dalam Negara Indonesia telah mengadopsi prinsip-prinsip federalisme seperti Otonomi Daerah. Ada sebuah kolaborasi yang “unik” berkaitan dengan prinsip kenegaraan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat utamanya pasca reformasi.

Otonomi Daerah sebenarnya lebih mirip sistem dalam Negara federal dimana pada umumnya dipahami bahwa dalam sistem federal. Kekuasaan Asli atau Kekuasaan sisa (resisual poer) berada di daerah atau bagian, sedangkan dalam sistem Negara Kesatuan (unitary), kekuasaan asli/kekuasaan sisa itu berada di pusat sehingga terdapat pengalihan kekuasaan pemerintah dari pusat ke daerah. Padahal dalam Negara Kesatuan idealnya semua kebijakan terdapat di tangan Pemerintahan Pusat.[1]

Pada prinsipnya kebijakan otonomi daerah dilaksanakan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan Pemerintah Pusat dialihkan dari tingkat Pusat ke Pemerintahan Daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semua arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka di idealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya yaitu dari pusat ke daerah.[2]

Jika melihat pengalaman masa lalu, bahwa sejak pertama Negara Indonesia berdiri sampai bergulirnya reformasi, sudah ada kebijakan desentralisasi namun pada kenyataannya belum berjalan maksimal ada kemungkinan terjadinya hal tersebut karena corak pemerintahan yang dibangun oleh penguasa saat ini lebih sentralistik selain itu belum ada pemahaman yang jelas mengenai desentralisasi yang sebenarnya. Sehingga menimbulkan berbagai masalah dalam hubungan pusat dan daerah. Semangat pemerintah dalam pemberian otonomi dari waktu ke waktu terus berubah, dari otonomi seluas-luasnya, selanjutnya :otonomi yang nyata dan bertanggung jawab” dan terakhir dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah serat perubahannya UU No. 12 Tahun 2008 yang diharapkan dapat menjanjikan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Namun dari sekian banyak peraturan tentang pemerintah daerah yang ada sudah lebih setengah abad dalam prakteknya tetap merupakan kata-kata yang indah belaka tanpa wujud yang nyata. Lama kelamaan hal ini menimbulkan rasa tidak puas di daerah terutama daerah yang kaya dengan sumber daya alam, namun tetap miskin.

Dalam UUD 1945 Amandemen Pasal 1 ayat (1) telah jelas dan sangat tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Oleh karenanya Negara Indonesia tidak mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat “Staat” juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dalam daerah yang lebih kecil. Daerah itu bersifat otonom atau bersifat administratif belaka, semuanya menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Pemerintahan Daerah diatur dalam bab tersendiri dalam UUD 1945, yaitu dalam Bab VI dengan judul “Pemerintah Daerah” dalam UUD RIS 1949, ketentuan mengenai hal itu termaktub dalam pasal 42-67 dan dalam UUDS 1950 dan Pasal 131 dan 132. Bahkan sejak sebelum kemerdekaan,sudah banyak pula peraturan yang dibuat untuk mengatur mengenai persoalan Pemerintahan Daerah dan Persoalan yang berkaitan dengan soal desentralisasi.

Demikian pula dengan tuntutan reformasi lain yaitu adanya kemudahan untuk mengamandemen UUD 1945 dalam hal ini termasuk Pasal-pasal yang mengatur Pemerintah Daerah, Amandemen terhadap Pasal 18 UUD 1945 lahir pada sidang Tahunan MPR 2000 melalui Amandemen kedua, yang merubah Pasal 18 menjadi Pasal 18, 18 A dan 18 B. adapun lengkapnya bunyi pasal tersebut adalah :

 

Pasal 18

(1)       Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap propinsi, Kabupaten dan Koat itu mempunyai Pemerintah Daerah, yang diatur dengan Undang-Undang.

(2)       Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3)       Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Kota memiliki DPRD yang anggotanya dipilih melalui Pemilu.

(4)       Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.

(5)       Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat.

(6)       Pemerintah Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan Peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

(7)       Susunan dan tata cara penyelenggaraan Pemerintah Daerah diatur dalam UU.

Pasal 18 A

(1)       Hubungan wewenang antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten dan Kota atau antara Propinsi dan Kabupaten dan Kota, diatur dengan UU dengan kekhususan dan keragaman daerah.

(2)       Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan SDA dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan UU.

Pasal 18 B

(1)       Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintah Daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan UU.

(2)       Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU.[3]

Pengaturan mengenai hal tersebut akan menentukan kualitas dan kuantitas otonomi daerah, karena otonomi daerah diadakan bukan sekedar menjamin efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, bukan sekedar menampung kenyataan bahwa Negara Indonesia sangat luas, heterogen dan berpulau-pulau, tetapi otonomi daerah juga merupakan dasar memperluas pelaksanaan demokrasi dan instrumen mewujudkan kesejahteraan umum. Otonomi daerah juga merupakan cara memelihara Negara Kesatuan, daerah-daerah otonom bebas mandiri mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahannya sendiri, merasa diberi tempat yang layak di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga tidak ada alasan untuk keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.[4]

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk membuat suatu penelitian dalam bentuk penelitian yang berjudul :

“PERATURAN PEMERINTAH NO.38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI DAN PEMERINTAHAN DAERAH  KABUPATEN/KOTA”

 

1.2.  Permasalahan

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka untuk memfokuskan tulisan ini agar sesuai dengan kajian ilmu hukum, maka penulis akan mencoba mencari jawaban dari permasalahan, apa dan bagaimana bentuk Otonomi Daerah yang sebenarnya dianut di Indonesia. Dalam tulisan ini akan dicari pokok pikiran tentang Pembagian urusan pemerintahan di Negara Republik Indonesia, serta mendiskripsikan tulisan ini, hal ini supaya pembahasan tetap terfokus pada rumusan permasalahan yang ditentukan serta menghindari penyimpangan yang terlalu jauh dari objek kajian ilmu hukum.

Dalam penelitian ini penulis mengemukakan permasalahan yang menurut penulis perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

Bagaimanakah Pembagian urusan Pemerintahan antara pemerintah,pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota  di Negara Republik Indonesia.?


BAB II

PEMBAHASAN

PERATURAN PEMERINTAH NO. 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

 

2.1.  Pembagian Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Provinsi

Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan,

“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.”

 

Struktur hubungan kekuasaan antara pemerintahan pusat dengan provinsi dan kabupaten/kota ini bersifat pembagian yang bertingkat-tingkat, sehingga karena itu harus dilihat sebagai hubungan yang bersifat hierarkis. Hal itu jelas terlibat dalam rumusan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi”, dan “daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten dan kota.” Konsep pembagian kekuasaan (division of powers), di sini bersifat vertikal dan hierarkis, dan terkait erat dengan kritik-kritik yang muncul sebagai akibat dari perumusan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menentukan bahwa pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah provinsi serta kabupaten/kota yang sebelumnya bersifat horizontal. Sebagai akibat penerapan pengertian hubungan yang bersifat horizontal itu, timbul banyak efek samping di daerah-daerah, sehingga ketika Perubahan Kedua UUD 1945 dibahas pada tahun 2000, kelemahan tersebut sangat memengaruhi, sehingga pilihan kata “dibagi” sebagaimana tersebut di atas dimaksudkan untuk mengembalikan lagi pola hubungan dimaksud menjadi vertikal kembali.

Meskipun sifat hierarkis antar unit pemerintahan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dipertahankan seperti dikemukakan di atas, prinsip otonomi daerah dipertegas dalam rumusan UUD 1945 setelah Perubahan Kedua pada tahun 2000. Karena itu, dalam Pasal 18 ayat (2) juga ditentukan,

“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.”

 

Selanjutnya, pada Pasal 18 ayat (3) ditentukan,

“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.”

 

Sementara itu, Pasal 18 ayat (4) berbunyi,

“Gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”

Pasal 18 ayat (5) menentukan,

“Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.”

 

Pasal 18 ayat (6) juga menentukan,

“Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”

 

 

Kemudian, dalam ayat (7) ditentukan,

“Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.”

 

Pemerintahan daerah dimaksud dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Kemudian dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dinyatakan bahwa pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud di atas adalah (a) pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi, dan (b) pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota. Sedangkan yang dimaksud dengan pemerintah daerah adalah terdiri atas kepala daerah, dan perangkat daerah.

Oleh sebab itu, ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 tersebut dalam Bab IV tentang Penyelenggaraan Pemerintahan (Daerah), mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 128, berlaku umum baik bagi daerah provinsi maupun daerah kabupaten dan kota. Bahkan, Bab III tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Pasal 10 sampai dengan Pasal 18 juga berlaku umum untuk seluruh tingkatan daerah provinsi, kabupaten, dan kota. Ketentuan yang berlaku khusus bagi daerah provinsi hanya tercantum dalam Pasal 10 ayat (5) huruf b, Pasal 12 ayat (2), dan Pasal 13. Sedangkan Pasal 14 hanya berlaku bagi daerah kabupaten dan kota. Dalam Pasal 37 dan Pasal 38 juga diatur tersendiri mengenai tugas gubernur selaku wakil pemerintah pusat. Selebihnya adalah ketentuan yang berlaku umum, baik bagi provinsi maupun kabupaten dan kota. Dengan demikian, sepanjang berkenaan dengan pembagian urusan pemerintahan dan penyelenggaraan pemerintahan berlaku prosedur-prosedur normatif yang secara umum sama antara setiap satuan pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota di seluruh Indonesia.

Kalaupun terdapat perbedaan antara satu daerah dengan daerah lain, maka hal itu antara lain terkait dengan status daerah yang bersangkutan sebagai daerah khusus atau daerah istimewa yang memang diatur secara khusus dalam undang-undang tersendiri. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, ketentuan otonomi khusus itu juga sudah tercantum, meskipun belum rinci. Rincian ketentuan mengenai kekhususan dan keistimewaan atau status otonomi khusus tersebut lebih lanjut diatur juga dengan undang-undang tersendiri.

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, dan kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,[5] pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah (pusat). Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, menurut Pasal 10 ayat (3), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, meliputi :[6]

a.    Politik luar negeri;

b.    Pertahanan;

c.    Keamanan;

d.   Peradilan atau yustisi;

e.    Moneter dan fiskal nasional; dan

f.     Agama.

 

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tersebut di atas, pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah yang ada di daerah atau dapat menugaskan atau memberi penugasan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa untuk melaksanakannya. Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintahan tersebut, pemerintah pusat dapat :

(1)      Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;

(2)      Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil pemerintah; atau

(3)      Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

 

Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memerhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dimaksud merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antarpemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria tersebut, terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah.

Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pedanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Urusan-urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan. Artinya, kebijakan desentralisasi itu diikuti dengan kebijakan berkenaan dengan sumber dana, sarana dan prasarana, serta kepegawaian, sedangkan kebijakan dekonsentrasi diikuti dengan pendanaan saja. Urusan-urusan yang ditentukan bersifat wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi :[7]

1)        Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

2)        Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

3)        Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

4)        Penyediaan sarana dan prasarana umum;

5)        Penanganan bidang kesehatan;

6)        Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;

7)        Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;

8)        Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;

9)        Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;

10)    Pengendalian lingkungan hidup;

11)    Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;

12)    Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;

13)    Pelayanan administrasi umum pemerintahan;

14)    Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;

15)    Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan

16)    Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

 

Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan-urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan memang berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Sedangkan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten dan kota merupakan urusan yang berskala kabupaten atau kota, yaitu meliputi :[8]

a.    Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

b.    Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c.    Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

d.   Penyediaan sarana dan prasarana umum;

e.    Penanganan bidang kesehatan;

f.     Penyelenggaraan pendidikan;

g.    Penanggulangan masalah sosial;

h.    Pelayanan bidang ketenagakerjaan;

i.      Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

j.      Pengendalian lingkungan hidup;

k.    Pelayanan pertanahan;

l.      Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;

m.  Pelayanan administrasi umum pemerintahan;

n.    Pelayanan administrasi penanaman modal;

o.    Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

p.    Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Urusan pemerintahan kabupaten dan pemerintahan kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Pelaksanaan ketentuan dimaksud diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Ditentukan pula bahwa hubungan dalam bidang keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah meliputi :[9]

a.    Pemberian sumber-sumber keuanganuntuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah;

b.    Pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan

c.    Pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah.

 

Sedangkan hubungan dalam bidang keuangan antar pemerintahan daerah meliputi :

a.    Bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota;

b.    Pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama;

c.    Pembiayaan bersama atas kerja sama antardaerah; dan

d.   Pinjaman dan/atau hibah antarpemerintahan daerah.

Hubungan dalam bidang keuangan yang dimaksud di atas, diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Sementara itu, ditentukan pula bahwa hubungan dalam bidang pelayanan umum antara pemerintah dan pemerintahan daerah meliputi :

a.    Kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal;

b.    Pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah; dan

c.    Fasilitasi pelaksanaan kerja sama antarpemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum.

Sedangkan hubungan dalam bidang pelayanan umum antar pemerintahan daerah yang juga diatur dalam peraturan perundang-undangan, meliputi :

a.    Pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah;

b.    Kerja sama antarpemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum; dan

c.    Pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum.

 

Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah dan pemerintahan daerah meliputi :

a.    Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian, dampak, budi daya, dan pelestarian;

b.    Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan

c.    Penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.

 

Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antarpemerintahan daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan meliputi :

a.    Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah;

b.    Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antarpemerintahan daerah; dan

c.    Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.

 

Daerah yang memiliki wilayah laut diberi kewenangan mengelola sumber daya di wilayah laut. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dimaksud meliputi :[10]

a.    Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;

b.    Pengaturan administratif;

c.    Pengaturan tata ruang;

d.   Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;

e.    Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan

f.     Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan Negara.

 

Kewenangan mengelola sumber daya di wilayah laut ditentukan paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Apabila wilayah laut antara dua provinsi kurang dari 24 mil, kewenangan mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar dua provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud. Ketentuan mengenai hal ini tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil.

Menurut ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, penyelenggara pemerintahan adalah presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden, dan oleh para menteri Negara. Sedangkan penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Asas-asas yang berlaku sebagai pedoman dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara terdiri atas :

i.           Asas kepastian hukum;

ii.         Asas tertib penyelenggara Negara;

iii.       Asas kepentingan umum;

iv.       Asas keterbukaan;

v.         Asas proporsionalitas;

vi.       Asas profesionalitas;

vii.     Asas akuntabilitas;

viii.   Asas efisiensi; dan

ix.       Asas efektivitas.

 

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah (pusat) menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan penegasan dianutnya ketiga asas ini secara bersama-sama, dapat dihindari timbulnya keraguan sebagai akibat tidak tercantumnya asas dekonsentrasi secara eksplisit dalam rumusan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945. Pasal 18 ayat (2) ini berbunyi,

“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.

 

Yang dimaksud asas otonomi di sini adalah asas desentralisasi, sedangkan asas dekonsentrasi tidak disebutkan karena dianggap sudah dengan sendirinya merupakan kewenangan pemerintah pusat yang tidak perlu dicantumkan secara eksplisit dalam Pasal 18 yang mengatur tentang pemerintahan daerah.

Sementara itu, untuk daerah, ditentukan bahwa dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945. Artinya, bagi pemerintah pusat, asas yang berlaku tetap seperti yang biasa dikenal secara universal di dunia, yaitu (i) asas desentralisasi, (ii) asas dekonsentrasi, dan (iii) asas pembantuan (medebewin). Sedangkan bagi pemerintahan daerah provinsi terhadap pemerintahan daerah kabupaten dan kota hanya dikenal adanya : (i) asas otonomi dan (ii) asas tugas pembantuan (medebewin). Artinya, dalam hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota tidak terdapat hubungan dekonsentrasi.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, ditentukan dengan jelas mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban daerah. Menurut Pasal 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dalam menyelenggarakan otonomi, daerah memunyai hak untuk :[11]

i.           Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;

ii.         Memilih pimpinan daerah;

iii.       Mengelola aparatur daerah;

iv.       Mengelola kekayaan daerah;

v.         Memungut pajak daerah dan retribusi daerah;

vi.       Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah;

vii.     Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan

viii.   Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Sedangkan kewajiban-kewajiban daerah dalam menyelenggarakan otonomi itu, menurut Pasal 32 adalah :

i.           Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

ii.         Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;

iii.       Mengembangkan kehidupan demokrasi;

iv.       Mewujudkan keadilan dan pemerataan;

v.         Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;

vi.       Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;

vii.     Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;

viii.   Mengembangkan sistem jaminan sosial;

ix.       Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;

x.         Mengembangkan sumber daya produktif di daerah;

xi.       Melestarikan lingkungan hidup;

xii.     Mengelola administrasi kependudukan;

xiii.   Melestarikan nilai sosial budaya;

xiv.   Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan

xv.     Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Hak dan kewajiban daerah tersebut di atas diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah tersebut harus dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada peraturan perundang-undangan.

 

2.1.1. Gubernur sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Kata “gubernur” berasal dari bahasa Belanda gouvernuur dan dari bahasa Perancis gouverneur. Dalam bahasa Spanyol disebut gobernador dan dalam bahasa Inggris governor.

Di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 kita tidak mengenal istilah lieutenant governor, tetapi kita menyebutnya dengan istilah wakil gubernur. Pengaturan di Indonesia UUD 1945 ditulis hanya menyebut jabatan gubernur, bupati, dan walikota saja, sedangkan wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota hanya diatur dalam undang-undang. Dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, ditentukan,

“Gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.

 

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda yang menentukan tugas dan kewenangan kepala daerah, cara memilih dan cara berhentinya dari jabatan, dan seterusnya.

Di samping itu, dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, seperti dikemukakan di atas, juga ditentukan bahwa,

“Gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.

 

Artinya, gubernur adalah kepala pemerintah daerah provinsi, bukan kepala pemerintahan daerah provinsi. Jabatan gubernur bukanlah kepala dari gabungan institusi gubernur dan DPRD Provinsi. Gubernur, itu hanya sebagai kepala “pemerintahan” eksekutif saja.

Pengertian “pemerintahan” di sini dapat diartikan sebagai proses pemerintahan atau keseluruhan sistem dan mekanisme pemerintahan. Dengan demikian kata pemerintah lebih sempit cakupan pengertiannya daripada pemerintahan. Kata pemerintah dapat dikatakan hanya menunjuk kepada institusi pelaksana atau eksekutif saja yaitu dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan pusat dan daerah yang berisi kebijakan kenegaraan di daerah dan kebijakan pemerintahan daerah itu sendiri. Fungsi pelaksana atau eksekutif itu sebenarnya secara historis memang terkait dengan fungsi untuk melaksanakan peraturan yang berisi aturan normatif, yaitu dapat berupa peraturan yang ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan tingkat pusat, dan dapat pula ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah, ataupun peraturan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945. Pasal 18 ayat (6) itu menentukan,

“Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas perbantuan.”

 

Seperti yang telah disebut di atas, Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menentukan,

“Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.”

Sementara itu, Pasal 18 ayat (2) menentukan,

“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.”

 

Dalam rangka melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan itu, pemerintahan daerah dinyatakan berhak menetapkan : (i) peraturan daerah; dan (ii) peraturan-peraturan lain. Yang dimaksud dengan peraturan daerah tentulah peraturan daerah provinsi, yaitu peraturan yang ditetapkan yang dibentuk oleh DPRD bersama-sama dengan gubernur selaku kepala pemerintah daerah provinsi. Sedangkan yang dimaksud dengan peraturan-peraturan lainnya adalah peraturan yang tingkatannya lebih rendah dan merupakan pelaksanaan dari peraturan daerah provinsi tersebut, yaitu peraturan gubernur dalam rangka melaksanakan peraturan daerah provinsi itu atau peraturan daerah kabupaten dan/atau peraturan daerah kota.

Menurut ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,

“Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah”.

 

Kepala daerah ini adalah identik dengan Kepala Pemerintah Daerah seperti yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), UUD 1945. Pasal 18 ayat (4) ini berbunyi,

“Gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”

 

Karena itu, dikatakan bahwa setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah. Kepala daerah untuk provinsi disebut gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota disebut walikota. Kepala daerah tersebut dibantu oleh satu orang wakil kepala sekolah. Wakil kepala daerah untuk provinsi disebut wakil gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil walikota.

Meskipun Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tidak menentukan bahwa kepala daerah itu mutlak harus dipilih secara langsung oleh rakyat, tetapi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa pemilihan itu haruslah bersifat langsung oleh rakyat. Dalam Pasal 24 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini ditegaskan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.

Tugas dan wewenang kepala daerah adalah :

1.        Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;

2.        Mengajukan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;

3.        Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;

4.        Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;

5.        Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

6.        Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

Sedangkan tugas wakil kepala daerah adalah :

i.          Membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;

ii.        Membantu kepala daerah dalam mengkoordinasi kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;

iii.      Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi;

iv.      Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota;

v.        Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;

vi.      Melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah; dan

vii.    Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan.

 

Dalam melaksanakan tugas dimaksud, wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah. Dalam hal kepala daerah meninggal dunia, berhenti, atau diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama enam bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya, wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah sampai habis masa jabatannya. Baik kepala daerah maupun wakil kepala daerah, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya diwajibkan oleh undang-undang untuk :

1)        Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2)        Meningkatkan kesejahteraan rakyat;

3)        Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;

4)        Melaksanakan kehidupan demokrasi;

5)        Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;

6)        Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;

7)        Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;

8)        Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;

9)        Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah;

10)    Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah;

11)    Menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD.

 

Selain memunyai kewajiban sebagaimana dimaksud di atas, kepala daerah juga memunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah (pusat), dan memberikan dalam arti menyampaikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah itu kepada masyarakat luas. Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah tersebut disampaikan kepada presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk bupati/walikota satu kali dalam satu tahun. Laporan tersebut digunakan oleh pemerintah sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Oleh Pasal 28 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang :

(i)            Membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendeskriminasikan warga Negara dan/atau golongan masyarakat lain;

(ii)          Turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik Negara/daerah, atau dalam yayasan bidang apa pun;

(iii)        Melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan;

(iv)        Melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang barang dan/atau jasa dari pihak lain yang memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;

(v)          Menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain yang dimaksud dalam Pasal 25 huruf f;

(vi)        Menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya;

(vii)      Merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota DPRD sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Karena alasan yang bersifat hukum, kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat diberhentikan dari jabatannya. Alasan pemberhentian itu diatur dalam Pasal 29, yaitu : (a) meninggal dunia; (b) atas permintaan sendiri; atau (c) diberhentikan. Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dapat diberhentikan karena : (i) masa jabatannya berakhir dan telah dilantik pejabat yang baru; (ii) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama enam bulan, (iii) tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah; (iv) dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah; (v) tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah; (vi) melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.

Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tersebut diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD.[12] Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah itu dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut :[13]

(i)            Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan kepada presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah;

(ii)          Pendapat DPRD diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir;

(iii)        Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD tersebut paling lambat 30 hari setelah permintaan DPRD itu diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final;

(iv)        Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kepada presiden;

(v)          Presiden wajib memproses usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tersebut paling lambat 30 hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut.

 

Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan semenatara oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan. Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[14] Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan Negara. Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD karena terbukti melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[15]

Dalam hal kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak pidana dan melibatkan tanggung jawabnya, DPRD menggunakan hak angket untuk menanggapinya. Penggunaan hak angket dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Dalam hal ditemukan bukti melakukan tindak pidana, DPRD menyerahkan proses penyelesaiannya kepada aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat lima tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap, DPRD mengusulkan pemberhentian sementara dengan keputusan DPRD. Berdasarkan keputusan DPRD, presiden menetapkan pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pimpinan DPRD mengusulkan pemberhentian berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir. Berdasarkan keputusan DPRD, presiden memberhentikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.[16]

Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diberhentikan sementara setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, paling lambat 30 hari presiden telah merehabilitasi dan mengaktifkan kembali kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang bersangkutan sampai dengan akhir masa jabatannya. Apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diberhentikan sementara telah berakhir masa jabatannya, presiden merehabilitasi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang bersangkutan dan tidak mengaktifkannya kembali. Tata cara pelaksanaan ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah.[17]

Apabila kepala daerah diberhentikan sementara, maka wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan kewajiban kepala daerah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila wakil kepala daerah diberhentikan sementara, tugas dan kewajiban wakil kepala daerah dilaksanakan oleh kepala daerah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah diberhentikan sementara, presiden menetapkan penjabat gubernur atas usul Menteri Dalam Negeri atau penjabat bupati/walikota atas usul gubernur dengan pertimbangan DPRD sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tata cara penetapan, kriteria calon, dan masa jabatan penjabat diatur dalam Peraturan Pemerintah.[18]

Apabila kepala daerah diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, jabatan kepala daerah diganti oleh wakil kepala daerah sampai berakhir masa jabatannya dan proses pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD dan disahkan oleh presiden. Apabila terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 tahun, kepala daerah mengusulkan dua orang calon wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD berdasarkan usulan partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerah berhenti atau diberhentikan secara bersamaan dalam masa jabatannya, Rapat Paripurna DPRD memutuskan dan menugaskan KPUD untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah paling lambat enam bulan terhitung sejak ditetapkannya penjabat kepala daerah. Dalam hal terjadi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, sekretaris daerah melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah, sampai presiden mengangkat penjabat kepala daerah. Tata cara pengisian kekosongan, persyaratan dan masa jabatan penjabat diatur dalam Peraturan Pemerintah.[19]

Terhadap kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dilakukan tindakan kepolisian sebagaimana mestinya. Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden atas permintaan penyidik. Apabila persetujuan tertulis tidak dibeirkan oleh presiden dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan. Untuk tindakan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan dimaksud.[20] Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan tersebut adalah :[21] (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau (b) disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan Negara. Tindakan penyidikan setelah dilakukan wajib dilaporkan kepada presiden paling lambat dalam waktu 2x24 jam.[22]

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diatur pula mengenai tugas gubernur selaku wakil pemerintah pusat. Hal ini ditentukan dalam Pasal 37, yaitu bahwa gubernur karena jabatannya juga berkedudukan sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan. Dalam kedudukannya yang demikian itu, gubernur bertanggung jawab kepada presiden.[23] Dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat tersebut, gubernur memiliki tugas dan wewenang, yaitu :

i.          Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;

ii.        Koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota;

iii.      Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Pendanaan tugas dan wewenang gubernur dibebankan kepada APBN. Kedudukan keuangan gubernur diatur dalam Peraturan Pemerintah. Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur diatur dalam Peraturan Pemerintah.[24]

 

2.1.2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi

Ketentuan tentang DPRD sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berlaku ketentuan Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD[25] DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah.[26] Seperti halnya DPR Pusat, DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.[27] Menurut ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, DPRD memiliki tugas dan wewenang, yaitu :[28]

1.             Membentuk peraturan daerah yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama;

2.             Membahas dan menyetujui rancangan peraturan daerah tentang APBD bersama dengan kepala daerah;

3.             Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah;

4.             Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur bagi DPRD kabupaten/kota;

5.             Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah;

6.             Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;

7.             Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah;

8.             Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;

9.             Membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;

10.         Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah;

11.         Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antardaerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;

12.         Selain tugas dan wewenang tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.[29]

Dilihat dari tugas dan wewenangnya seperti disebutkan di atas, DPRD harus dianggap sebagai parlemen daerah atau local parliament. Sebelum reformasi, seperti halnya ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, dinyatakan bahwa presiden membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Demikianlah pula di daerah, ditentukan bahwa gubernur atau bupati/walikota membentuk peraturan daerah dengan persetujuan DPRD. Dalam kaitan dengan hal itu, pemeran utama pembentukan peraturan daerah itu selama ini adalah kepala daerah, bukan DPRD. Akan tetapi, setelah reformasi, dan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang membentuk peraturan daerah itu pada dasarnya adalah DPRD. Memang benar, kepala daerah ikut membahas rancangan peraturan daerah itu secara bersama-sama dengan DPRD untuk mendapatkan persetujuan bersama oleh kedua belah pihak sebagai persyaratan untuk pengesahan lebih lanjut oleh kepala daerah. Akan tetapi, yang disebut sebagai pembentuk peraturan daerah itu adalah DPRD, sehingga mereka harus dianggap sebagai parlemen dalam arti yang sepenuhnya.

Namun, meskipun secara formal DPRD itu dapat disebut sebagai lembaga legislatif, tetapi dalam praktik, timbul banyak kesulitan mengenai hal tersebut. Jumlah DPRD di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 461, yaitu terdiri atas 352 DPRD kabupaten, 86 DPRD kota, dan 33 DPRD provinsi. Kualitas anggotanya sangat beragam, meskipun dipersyaratkan berpendidikan minimal SLTA. Derajat pelembagaan institusi DPRD di setiap daerah juga sangat beraneka ragam, sehingga tidak mudah untuk diharapkan dapat bekerja profesional dengan dukungan teknis yang dapat diandalkan di bidang legislasi peraturan daerah. Oleh karena itu, dalam kenyataan praktik, timbul persoalan dalam hubungan dengan banyaknya peraturan daerah yang dibuat di berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Jika dibandingkan, maka dapat dikatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dewasa ini mengikuti pola seperti yang dipraktikkan di Italia. Meskipun hal demikian itu belum tentu dapat dikatakan ideal, karena banyak kelemahan yang terdapat di dalamnya untuk diterapkan dalam konteks Indonesia,[30] tetapi secara formal harus diakui bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah parlemen lokal atau lembaga legislatif di tingkat daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai parlemen lokal memiliki hak-hak, yaitu :

(a)      Hak interpelasi;

(b)     Hak angket; dan

(c)      Hak menyatakan pendapat.

 

Pelaksanaan hak angket dilakukan setelah diajukan hak interpelasi dan mendapat persetujuan dari Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang hadir. Dalam menggunakan hak angket dimaksud dibentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang bekerja dalam waktu paling lama 60 hari telah menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRD.

Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket dapat memanggil, mendengar, dan memeriksa seseorang yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang sedang diselidiki serta untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki. Setiap orang yang dipanggil, didengar, dan diperiksa wajib memenuhi panggilan panitia angket kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan perundang-undangan.

Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu, panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Seluruh hasil kerja panitia angket bersifat rahasia. Tata cara penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.[31]

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memiliki hak,[32] yaitu : (a) hak mengajukan rancangan Perda; (b) hak mengajukan pertanyaan; (c) hak menyampaikan usul dari pendapat; (d) hak memilih dan dipilih; (e) hak membela diri; (f) hak imunitas; (g) hak protokoler; dan (h) hak keuangan dan administrasi. Kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Anggota DPRD memiliki kewajiban :[33]

(i)            Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menaati segala peraturan perundang-undangan;

(ii)          Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;

(iii)        Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

(iv)        Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah;

(v)          Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;

(vi)        Mendahulukan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;

(vii)      Memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota DPRD sebagai wujud tanggung jawab moral dan politis terhadap daerah pemilihannya;

(viii)    Menaati Peraturan Tata Tertib, Kode Etik, dan sumpah/janji anggota DPRD;

(ix)        Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.

DPRD memiliki alat-alat kelengkapan yang terdiri atas :                    (a) pimpinan; (b) komisi; (c) panitia musyawarah; (d) panitia anggaran; (e) Badan Kehormatan; dan (f) alat kelengkapan lain yang diperlukan. Pembentukan, susunan, tugas, dan wewenang alat kelengkapan tersebut diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.[34]

Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dibentuk dan ditetapkan dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Anggota Badan Kehormatan DPRD dipilih dari dan oleh anggota DPRD dengan ketentuan : (a) untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan sampai dengan 34 berjumlah tiga orang, dan untuk DPRD yang beranggotakan 35 sampai dengan 45 berjumlah lima orang;                  (b) untuk DPRD provinsi yang beranggotakan sampai dengan 74 berjumlah lima orang, dan untuk DPRD yang beranggotakan 75 sampai dengan 100 berjumlah tujuh orang. Pimpinan Badan Kehormatan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Kehormatan. Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh sebuah sekretariat yang secara fungsional dilaksanakan oleh Sekretariat DPRD.[35]

Badan Kehormatan tersebut memiliki tugas, yaitu :[36]

(i)       Mengamati, mengevaluasi disiplin, etika, dan moral para anggota DPRD dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan sesuai dengan Kode Etik DPRD;

(ii)     Meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota DPRD terhadap Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPRD serta sumpah/janji;

(iii)   Melakukan penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi atas pengaduan Pimpinan DPRD, masyarakat dan/atau pemilih;

(iv)   Menyampaikan kesimpulan atas hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf c sebagai rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh DPRD.

 

DPRD wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan anggota DPRD dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.[37]

(i)       Pengertian kode etik;

(ii)     Tujuan kode etik;

(iii)   Pengaturan sikap, tata kerja, dan tata hubungan antarpenyelenggara pemerintahan daerah dan antaranggota serta antara anggota DPRD dan pihak lain;

(iv)   Hal yang baik dan sepantasnya dilakukan oleh anggota DPRD;

(v)     Etika dalam penyampaian pendapat, tanggapan, jawaban, sanggahan; dan

(vi)   Sanksi dan rehabilitasi.

Setiap anggota DPRD wajib berhimpun dalam fraksi. Jumlah anggota setiap fraksi sekurang-kurangnya sama dengan jumlah komisi di DPRD. Anggota DPRD dari satu partai politik yang tidak memenuhi syarat untuk membentuk satu fraksi, wajib bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan. Fraksi yang ada wajib menerima anggota DPRD dari partai politik lain yang tidak memenuhi syarat untuk dapat membentuk satu fraksi. Dalam hal setelah fraksi gabungan dibentuk, dan belum lagi memenuhi syarat sebagai fraksi gabungan, seluruh anggota fraksi gabungan tersebut wajib bergabung dengan fraksi dan/atau fraksi gabungan lain yang memenuhi syarat. Partai politik yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi hanya dapat membentuk satu fraksi. Fraksi gabungan dapat dibentuk oleh partai politik dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5) Pasal 50 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.[38]

DPRD provinsi yang beranggotakan 35 sampai dengan 75 orang membentuk empat komisi, yang beranggotakan lebih dari 75 orang membentuk lima komisi. DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 sampai dengan 35 orang membentuk tiga komisi, yang beranggotakan lebih dari 35 orang membentuk empat komisi.[39]

Anggota DPRD tidak dapat dituntut dihadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat DPRD, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPRD. Ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan, atau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman rahasia Negara dalam peraturan perundang-undangan. Anggota DPRD tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPRD.[40]

Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama presiden bagi anggota DPRD provinsi dan dari gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRD kabupaten/kota. Dalam hal persetujuan tertulis tersebut tidak diberikan dalam waktu paling lambat 60 hari sejak diterimanya permohonan, proses penyidikan dapat dilakukan. Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan membutuhkan persetujuan tertulis. Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan ini adalah : (i) dalam hal tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau (ii) dalam hal yang bersangkutan disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan Negara. Setelah tindakan dimaksud dilakukan, tindakan penyidikan harus dilaporkan kepada pejabat yang memberikan izin yang lambat 2x24 jam.[41]

Anggota DPRD dilarang merangkap jabatan sebagai : (a) pejabat Negara lainnya; (b) hakim pada badan peradilan; (c) pegawai negeri sipil; anggota TNI/Polri, pegawai pada badan usaha milik Negara, badan usaha milik daerah dan/atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD. Anggota DPRD dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat/pengacara, notaris, dokter praktik dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas, wewenang dan hak sebagai anggota DPRD.[42]

Anggota DPRD dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Anggota DPRD yang melakukan pekerjaan wajib melepaskan pekerjaan tersebut selama menjadi anggota DPRD. Anggota DPRD yang tidak memenuhi kewajiban diberhentikan oleh pimpinan berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Kehormatan DPRD. Pelaksanaan ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib DPRD yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.[43]

Selanjutnya, dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga diatur mengenai pergantian antar waktu anggota DPRD yang biasa disingkat dengan istilah PAW. Ditentukan bahwa anggota DPRD berhenti antarwaktu sebagai anggota karena :

1.        Meninggal dunia;

2.        Mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis; atau

3.        Diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.[44]

Alasan pemberhentian yang terakhir inilah yang biasa disebut sebagai mekanisme recalling atau pemanggilan kembali oleh partai politik yang mengusulkannya dalam pemilihan umum. Di Negara-negara dengan sistem politik demokratis yang maju, recalling dilakukan oleh pemilih, bukan oleh partai politik. Misalnya, rakyat di daerah pemilihan yang bersangkutan dengan syarat jumlah orang tertentu dapat mengajukan petisi recalling semacam “mosi tidak percaya” kepada seorang wakil rakyat. Atas dasar itu diadakan recal-election untuk menentukan penggantinya. Meskipun peran partai politik adalah mutlak sebagai peserta Pemilu yang diikuti oleh calon wakil rakyat, tetapi peran partai politik itu dianggap hanya sebagai kendaraan yang mengantarkan seseorang untuk menjadi pejabat Negara dengan menduduki kursi sebagai wakil rakyat. Setelah yang bersangkutan menjadi pejabat Negara, maka proses pemberhentiannya tidak dapat lagi diserahkan sepenuhnya kepada partai politik sebagai kendaraan yang telah mengantarkannya ke tempat tujuan.

Jika yang bersangkutan kemudian diberhentikan statusnya dan keanggotaan partai, maka peristiwa hukum pemberhentian dari partai politik itu tidak otomatis menyebabkan yang bersangkutan harus berhentik dari statusnya sebagai wakil rakyat. Harus ada jaminan bahwa proses pemberhentiannya sebagai anggota partai politik adalah memang sesuai dengan peraturan perundang-undangan (due process of law), dan proses pengambilan keputusan oleh DPR dan presiden atas usul pemberhentian yang bersangkutan juga harus didasarkan atas proses hukum yang benar. Dengan demikian, pemberhentian seseorang dari statusnya sebagai anggota partai dan pemberhentian seorang wakil rakyat dari kedudukannya sebagai anggota DPR dan DPRD dengan dikukuhkan oleh Surat Keputusan Presiden adalah dua hal yang harus dibedakan. Yang pertama dapat saja ditentukan menjadi salah satu sebab untuk keputusan yang kedua, asalkan ada jaminan bahwa keduanya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkeadilan.

Praktik lembaga recalling ini oleh banyak kalangan dinilai sangat rawan disalahgunakan oleh elite pimpinan partai politik, sehingga mengurangi independensi para anggota lembaga perwakilan untuk bekerja bagi kepentingan rakyat yang diwakiliknya. Akan tetapi, atas dasar putusan Mahkamah Konstitusi, keberadaan lembaga recalling ini tetap dibenarkan dengan pengertian bahwa dalam pelaksanaannya di lapangan tidak tertutup bagi pihak yang diberhentikan untuk mengajukan upaya hukum ke pengadilan, jika mereka merasa dirugikan. Hal ini dianggap sudah merupakan jaminan bahwa proses pemberhentian itu harus dilakukan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

Anggota DPRD dapat diberhentikan antarwaktu, karena alasan bahwa yang bersangkutan :[45]

(i)            Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama enam bulan;

(ii)          Tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPRD;

(iii)        Dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan, dan/atau melanggar kode etik DPRD;

(iv)        Tidak melaksanakan kewajiban anggota DPRD;

(v)          Melanggar larangan bagi anggota DPRD;

(vi)        Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan ancaman pidana paling singkat lima tahun penjara atau lebih.

 

Pemberhentian anggota DPRD yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur bagi anggota DPRD provinsi dan kepada gubernur melalui bupati/walikota bagi anggota DPRD kabupaten/kota untuk diresmikan pemberhentiannya. Pemberhentian anggota DPRD dilaksanakan setelah ada keputusan DPRD berdasarkan rekomendasi dan Badan Kehormatan DPRD. Pelaksanaan ketentuan diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD berpedoman pada peraturan perundang-undangan.[46]

 

 

2.2.  Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

2.2.1.      Pemerintahan Daerah Kabupaten

Seperti diuraikan di atas, pada pokoknya, pemerintahan daerah kabupaten dan daerah kota dianggap sebagai satu kesatuan unit pemerintahan daerah secara sendiri-sendiri seperti halnya pemerintahan daerah provinsi. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak membedakan antara daerah provinsi dengan daerah kabupaten dan kota, kecuali hanya dalam tingkatan hirarkisnya. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi lagi atas kabupaten dan kota, yang masing-masing memunyai pemerintahan daerah dengan segala perangkatnya yang tersendiri berdasarkan undang-undang.

Namun demikian, dalam hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah provinsi berlaku asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan, sedangkan dalam hubungan antara pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten dan kota hanya berlaku asas desentralisasi atau otonomi dan tugas pembantuan. Artinya, pemerintah daerah provinsi tidak memiliki perangkat dekonsentrasi di tingkat kabupaten dan kota sama sekali. Yang ada hanya perangkat daerah kabupaten dan kota yang melaksanakan tugas dan wewenangnya secara mandiri sebagai bagian dari pemerintahan daerah kabupaten dan kota atau tugas pembantuan terhadap proyek-proyek pemerintah daerah provinsi.

Kabupaten dan kota merupakan kesatuan unit pemerintahan Negara yang langsung berhubungan dengan fungsi pengayoman dan pelayanan pemerintahan Negara terhadap rakyat. Untuk itu, setiap satuan pemerintahan dilengkapi dengan perangkat administrasi di tingkat kecamatan yang dipimpin oleh seorang camat sebagai pejabat administrasi yang terendah di atas kepala desa dan lurah. Kepala desa ada di daerah pedesaan dan lurah ada di daerah perkotaan. Kemudian, di tingkat kelurahan dan desa terdapat pula perangkat organisasi kekeluargaan yang disebut Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT).

Dengan demikian, di daerah kota, terdapat walikota, camat, dan lurah, ketua RW, dan ketua RT, sedangkan di daerah kabupaten terdapat, bupati, camat, dan kepala desa, serta ketua RW dan ketua RT. Oleh karena itu, secara umum, daerah kabupaten yang dipimpin oleh seorang bupati sebenarnya memiliki ciri-ciri umum sebagai pemerintahan daerah pedesaan, sedangkan daerah kota yang dipimpin oleh seorang walikota memiliki ciri umum sebagai daerah kota. Memang benar bahwa daerah kabupaten juga memunyai ibukotanya tersendiri. Artinya, dalam daerah kabupaten juga ada kota. Namun, statusnya bersifat administratif belaka dan tidak sama dengan kedudukan daerah kota yang memiliki pemerintahan tersendiri dengan dipimpin oleh seorang walikota.

Di samping itu, setiap pemerintahan daerah juga memiliki perangkat lembaga perwakilan rakyat. Di tingkat provinsi ada DPR Provinsi, di tingkat kabupaten/kota ada DPRD kabupaten/kota. Bahkan di tingkat desa dan kelurahan, terdapat juga lembaga perwakilan yang mirip dengan DPRD, yaitu di desa disebut Badan Perwakilan Desa, sedangkan di kelurahan disebut Dewan Kelurahan. Lembaga-lembaga perwakilan ini, terutama di desa dan di kelurahan, di samping memunyai fungsi politik, juga mengandung fungsi pendidikan demokrasi di kalangan rakyat.

Seperti Pemerintahan Daerah Provinsi, maka Pemerintahan Daerah Kabupaten juga dapat disebut tersendiri sebagai lembaga Negara di daerah. Karena subjek hukum kelembagaan yang disebut secara eksplisit dalam Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6), dan ayat (7) justru adalah “Pemerintahan Daerah” yang meliputi Kepala Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Dalam Pasal 18 ayat (2) dan (3) UUD 1945 jelas ditentukan bahwa Pemerintahan Daerah Kabupaten mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan Daerah Kabupaten memiliki DPRD kabupaten yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

Pasal 18 ayat (5) dan (6) juga menentukan bahwa Pemerintahan Daerah Kabupaten menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Pemerintah Daerah Kabupaten berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Hanya saja, yang perlu diperhatikan adalah bahwa subjek pemerintahan daerah itu, dalam hal ini satuan Pemerintahan Daerah Kabupaten dapat disebut sebagai subjek hukum yang tersendiri apabila satu pemerintahan daerah kabupaten itu dilihat sebagai satu kesatuan yang mencakup jabatan bupati selaku Kepala Pemerintah Daerah dan DPRD. Apabila bupati dan DPRD disebut sebagai institusi secara terpisah, maka subjek hukum kelembagaannya adalah bupati dan DPRD.

Karena itu, seperti juga di tingkat provinsi dan daerah kota, maka di tingkat Pemerintahan Daerah Kabupaten terdapat tiga subjek hukum yang masing-masing dapat disebut sebagai lembaga Negara yang tersendiri, yaitu : (i) Pemerintahan Daerah Kabupaten; (ii) Bupati selaku Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten, dan (iii) DPRD kabupaten. Ketiganya dapat disebut sebagai lembaga daerah atau lembaga Negara di daerah.

2.2.2.      Bupati Sebagai Kepala Daerah

Kepala Daerah untuk pemerintahan daerah kabupaten disebut bupati, dan wakilnya disebut wakil bupati. Di Jawa, istilah ini sudah dikenal sejak lama. Di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, jabatan pegawai keratin yang paling tinggi juga disebut bupati.[47] Karena itu, pada zaman kerajaan, para bupati di berbagai daerah dalam wilayah kekuasaan keratin merupakan perpanjangan tangan keratin. Namun, karena kekuasaan dukungan yang dapat dikuasainya, terkadang para bupati itulah yang menjadi pemberontak dan kemudian mendirikan kerajaan sendiri. Apalagi, setelah masuknya pengaruh penjajah Belanda, para bupati inilah yang biasa didekati oleh penguasa Hindia Belanda untuk menggerogoti pengaruh kekuasaan keratin. Karena itu, beberapa daerah kabupaten pernah tumbuh menjadi pusat-pusat kekuasaan tersendiri di masa lalu. Bahkan sampai tahun 1940-an, masih ada bupati di Jawa yang bersifat turun-temurun.[48]

Bupati sebagai kepala daerah tentu berbeda dari walikota yang merupakan kepala daerah kota. Kota, yang dulunya disebut kotamadya, bagaimanapun adalah kota dengan segala ciri-ciri masyarakat perkotaan yang harus dipimpin dan dibangun oleh kepala daerah. Sedangkan daerah kabupaten sebagian terbesarnya adalah daerah pedesaan. Meskipun pusat kegiatan pemerintahan juga dipusatkan juga kota sebagai ibukota kabupaten, tetapi sebagian terbesar penduduk kabupaten tinggal dan hidup di desa-desa.

Di Indonesia, sebagian besar penduduk hidup di desa dengan kultur dan mata pencaharian perdesaan. Oleh karena itu, sudah seharusnya, pengaturan mengenai bupati dan kabupaten itu diorganisasikan atau dilembagakan secara berbeda dari walikota dan pemerintahan daerah kota. Sayangnya dalam pola berpikir Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan juga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ataupun bahkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada sebelumnya, kedua struktur pemerintahan daerah kabupaten dan kota ini selalu disamaratakan. Bahkan untuk hal-hal tertentu, pola pengaturan mengenai pemerintahan daerah provinsi juga diperlakukan sama.

Sudah tentu, untuk hal-hal yang bersifat prinsip-prinsip umum yang berlaku universal, penerapannya di semua struktur pemerintahan haruslah sama. Misalnya, Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah[49] menentukan bahwa penyelenggara pemerintahan adalah presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden, dan oleh menteri Negara. Sedangkan penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Pasal 20 ayat (1) menentukan bahwa penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas :

a.    Asas kepastian hukum;

b.    Asas tertib penyelenggara Negara;

c.    Asas kepentingan umum;

d.   Asas keterbukaan;

e.    Asas proporsionalitas;

f.     Asas akuntabilitas;

g.    Asas efisiensi; dan

h.    Asas efektivitas.

 

Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah dan pemerintah daerah harus menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintah daerah termasuk juga pemerintah daerah kabupaten harus menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Pasal 21 menentukan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daaerah termasuk daerah kabupaten dan kota memiliki hak : mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya, memilih pimpinan daerah, mengelola aparatur daerah; mengelola kekayaan daerah; memungut pajak daerah dan retribusi daerah; mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah; mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah termasuk daerah kabupaten dan kota memiliki kewajiban :[50]

a.    Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b.    Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;

c.    Mengembangkan kehidupan demokrasi;

d.   Mewujudkan keadilan dan pemerataan;

e.    Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;

f.     Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;

g.    Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;

h.    Mengembangkan sistem jaminan sosial;

i.      Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;

j.      Mengembangkan sumber daya produktif di daerah;

k.    Melestarikan lingkungan hidup;

l.      Mengelola administrasi kependudukan;

m.  Melesatarikan nilai sosial budaya;

n.    Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan

o.    Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

 

Hak dan kewajiban daerah sebagaimana dimaksud di atas harus diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah tersebut harus dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada peraturan perundang-undangan. Hal ini berlaku, baik bagi pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, maupun kota.

Seperti yang ditentukan dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tugas dan wewenang bupati sebagai kepala daerah  adalah :

a.    Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;

b.    Mengajukan rancangan Perda;

c.    Menetapkan Perda yang telah mendasar persetujuan bersama DPRD;

d.   Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;

e.    Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;

f.     Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

g.    Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

Sedangkan tugas wakil bupati, seperti juga wakil kepala daerah lainnya, menurut ketentuan Pasal 26 ayat (1) adalah :

a.    Membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;

b.    Membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;

c.    Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi;

d.   Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota;

e.    Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;

f.     Melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah; dan

g.    Melaksanakan tugas dari wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan.

 

Dalam melaksanakan tugas dimaksud, bupati sebagai wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala bupati sebagai kepala daerah. Wakil bupati dapat menggantikan kedudukan bupati sebagai kepala daerah sampai habis masa jabatannya apabila bupati meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama enam bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang dimaksud, kepala daerah dan wakil kepala daerah memiliki kewajiban untuk :[51]

a.    Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b.    Meningkatkan kesejahteraan rakyat;

c.    Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;

d.   Melaksanakan kehidupan demokrasi;

e.    Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;

f.     Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;

g.    Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;

h.    Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;

i.      Melaksankaan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah;

j.      Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah;

k.    Menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah dihadapan Rapat Paripurna DPRD.

 

Selain memiliki kewajiban tersebut, Bupati juga memiliki kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.[52] Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah dimaksud disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur satu kali dalam satu tahun.[53] Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan pemerintah sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[54]

 

 

2.2.3.      DPRD Kabupaten

Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menentukan,

“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu memunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.”

 

Pemerintahan Daerah Provinsi memiliki Gubernur dan DPRD provinsi, Pemerintahan Daerah Kabupaten memiliki Bupati dan DPRD kabpaten, dan Pemerintahan Daerah Kota memiliki Walikota dan DPRD kota. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menentukan,

“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu memunyai pemerintahan daerah,  yang diatur dengan undang-undang.”

Secara lebih khusus, Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 juga menentukan,

“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.”

 

Artinya, di setiap pemerintahan daerah kabupaten terdapat DPRD kabupaten yang bersama-sama dengan Bupati merupakan satu kesatuan pengertian pemerintahan daerah kabupaten.

Seperti halnya pengaturan mengenai hubungan antara Gubernur dan DPRD untuk daerah provinsi, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, hubungan antara Bupati dan DPRD kabupaten juga diatur dengan pola yang sama. Karena itu, tidak banyak yang perlu diuraikan di sini mengenai hal itu. Namun, seperti telah diuraikan diatas, sebenarnya, daerah kabupaten itu memang berbeda dari daerah kota. Karena itu, sudah seharusnya DPRD kabupaten mengorganisasikan diri ataupun diorganisasikan secara berbeda dari DPRD kota. Kalaupun struktur dan mekanisme yang diatur di dalamnya sama, setidaknya DPRD dapat menjalankan tugas-tugasnya secara berbeda dari satu daerah ke daerah yang lain, disesuaikan dengan kebutuhan setempat, dan juga berbeda dari apa yang dilakukan di daerah perkotaan.

Misalnya, anggota DPRD kabupaten sudah seharusnya diberi kesempatan untuk lebih sering mengadakan acara pertemuan dengan masyarakat di kecamatan-kecamatan dan bahkan di desa-desa. Karena itu, kegiatan para anggota DPRD kabupaten harus berbeda dari apa yang dilakukan oleh para anggota DPRD kota. Misalnya, dalam perilaku masyarakat pedesaan, hubungan pribadi dan pendekatan kekeluargaan jauh lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan formal dan kedinasan, sehingga para wakil rakyatpun seyogyanya menyesuaikan diri dengan kultur setempat.

Namun, secara umum, apa yang berlaku bagi DPRD provinsi, berlaku pula bagi DPRD kabupaten. Misalnya, alat kelengkapan DPRD, diatur dalam Pasal 46 ayat (1), yaitu terdiri atas :[55]

1.    Pimpinan;

2.    Komisi;

3.    Panitia musyawarah;

4.    Panitia anggaran;

5.    Badan kehormatan; dan

6.    Alat kelengkapan lain yang diperlukan.

Menurut ketentuan Pasal 47, Badan Kehormatan DPRD dibentuk dan ditetapkan dengan keputusan DPRD. Anggota Badan kehormatan DPRD tersebut dipilih dari dan oleh anggota DPRD dengan ketentuan :

a.    Untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan sampai dengan 34 berjumlah tiga orang, dan untuk DPRD yang beranggotakan 35 sampai dengan 45 berjumlah lima orang.

b.    Untuk DPRD provinsi yang beranggotakan sampai dengan 74 berjumlah lima orang, dan untuk DPRD yang beranggotakan 75 sampai dengan 100 berjumlah tujuh orang.

Pimpinannya terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Kehormatan. Dalam menjalankan tugasnya, Badan Kehormatan dibantu oleh sebuah sekretariat yang secara fungsional dilaksanakan oleh Sekretariat DPRD. Tugas Badan Kehormatan, seperti yang ditentukan dalam Pasal 48   adalah :

a.    Mengamati, mengevaluasi disiplin, etika, dan moral para anggota DPRD dalam rangka menjaga martabat dan kehormatan sesuai dengan Kode Etik DPRD;

b.    Meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota DPRD terhadap Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik DPRD serta sumpah/janji;

c.    Melakukan penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi atas pengaduan Pimpinan DPRD, masyarakat dan/atau pemilih;

d.   Menyampaikan kesimpulan atas hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf c sebagai rekomendasi untuk ditindak lanjuti oleh DPRD.

DPRD wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan anggota DPRD dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.[56] Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi :

a.    Pengertian kode etik;

b.    Tujuan kode etik;

c.    Pengaturan sikap, tata kerja, dan tata hubungan antar penyelenggara pemerintahan daerah dan antaranggota serta antara anggota DPRD dan pihak lain;

d.   Hal yang baik dan sepantasnya dilakukan oleh anggota DPRD;

e.    Etika dalam penyampaian pendapat, tanggapan, jawaban, sanggahan, dan

f.     Sanksi dan rehabilitasi.

 

 

2.2.4.      Walikota

Istilah Walikota ini berasal dari dua kata, yaitu wali dan kota. Istilah ini biasa dipakai sejak dulu untuk menggambarkan kedudukan yang utama bagi seseorang yang dipercaya menjadi kepala pemerintahan kota. Di Aceh, istilah wali ini juga dipakai untuk menyebut Wali Nanggroe Aceh, yaitu dalam konteks pengertian kepala pemerintahan negeri Aceh. Sekarang konteks pengertiannya dikaitkan dengan pengertian budaya sebagai kepala adat atau kepala dalam pengertian politik, yaitu kepala Negara (head of state) yang dibedakan dari gubernur sebagai kepala pemerintahan.

Untuk pemerintahan kota, istilah walikota ini sudah biasa digunakan secara teknis hokum berarti kepala pemerintahan daerah kota. Seperti yang dipakai dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, istilah walikota memang dipakai dalam arti sebagai kepala daerah pemerintahan daerah kota. Sebagai kepala daerah, maka seperti yang juga ditentukan untuk gubernur dan bupati sebagai kepala daerah, maka tugas dan wewenang walikota juga adalah :[57]

1)   Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;

2)   Mengajukan rancangan Perda;

3)   Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;

4)   Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;

5)   Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;

6)   Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

7)   Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

Sedangkan wakil bupati, seperti juga wakil kepala daerah lainnya, menurut ketentuan Pasal 26 ayat (1) memiliki tugas :

i.          Membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;

ii.        Membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindak lanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;

iii.      Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi;

iv.      Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota;

v.        Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;

vi.      Melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah; dan

vii.    Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan.

 

Menurut ketentuan Pasal 199 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, kawasan perkotaan dapat berbentuk :

a.    Kota sebagai daerah otonom;

b.    Bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan;

c.    Bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dan memiliki ciri perkotaan.

Kawasan perkotaan yang berbentuk kota sebagai daerah otonom dikelola oleh pemerintah kota di bawah kepemimpinan walikota. Kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari daerah kabupaten yang memilki ciri-ciri perkotaan dikelola oleh daerah atau lembaga pengelola yang dibentuk dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah kabupaten. Sedangkan kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih daerah yang saling berbatasan langsung dan memiliki ciri-ciri perkotaan, dalam hal penataan ruang dan penyediaan fasilitas pelayanan umum tertentu dikelola bersama oleh daerah-daerah yang terkait.

 

2.2.5.      DPRD Kota

Sesuai ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, DPRD, baik tingkat provinsi, kabupaten ataupun kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD ditentukan memilik fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.[58] Hak-hak DPRD adalah : (a) hak interplasi, (b) hak angket, dan (c) hak untuk menyatakan pendapat.[59] Pelaksanaan hak angket tersebut dilakukan setelah diajukan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan mendapatkan persetujuan dari Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir.[60]

Dalam menggunakan hak angket dibentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD yang bekerja dalam waktu paling lama 60 hari telah menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRD.[61] Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket dapat memanggil, mendengar, dan memeriksa seseorang yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang sedang diselidiki serta untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.[62] Setiap orang yang dipanggil, didengar, dan diperiksa wajib memenuhi panggilan panitia angket kecuali ada alasan yang menurut peraturan perundang-undangan.[63] Dalam hal telah di panggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan, panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[64] Seluruh hasil kerja panitia angket tersebut bersifat rahasia.[65] Tata cara penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat diatur dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.[66]

Menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1), anggota DPRD memiliki hak untuk : (a) mengajukan rancangan Perda; (b) mengajukan pertanyaan; (c) menyampaikan usul dan pendapat; (d) memilih dan dipilih; (e) membela diri; (f) imunitas; (g) protokoler; dan (h) keuangan dan administratif. Kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD diatur dalam Peraturan Pemerintah.[67] Alat kelengkapan DPRD terdiri atas (a) pimpinan, (b) panitia musyawarah, (c) panitia anggaran, (d) Badan Kehormatan, dan (e) alat kelengkapan lain yang diperlukan. Pembentukan, susunan, tugas, dan wewenang alat kelengkapan dimaksud diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan DPRD kota yang beranggotakan 20 sampai dengan 35 orang membentuk tiga komisi, yang beranggotakan lebih dari 35 orang membentuk empat komisi.[68]

Setiap anggota DPRD diwajibkan berhimpun dalam fraksi.[69] Jumlah anggota setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya sama dengan jumlah komisi di DPRD.[70] Anggota DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari satu partai politik yang tidak memenuhi syarat untuk membentuk satu fraksi, wajib bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.[71] Fraksi yang ada wajib menerima anggota DPRD dari partai politik lain yang tidak memenuhi syarat untuk dapat membentuk satu fraksi.[72] Dalam hal fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah dibentuk, kemudian tidak lagi memenuhi syarat sebagai fraksi gabungan, seluruh anggota fraksi gabungan tersebut wajib bergabung dengan fraksi dan/atau fraksi gabungan lain yang memenuhi syarat.[73] Partai politik yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi hanya dapat membentuk satu fraksi.[74] Fraksi gabungan dapat dibentuk oleh partai politik dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5).[75]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

 

A.  Kesimpulan

1.    Pemerintahan Daerah adalah Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintahan Daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan.

2.    Pelaksanaan Pemerintahan Daerah yang seharusnya di dalam prakteknya haruslah sesuai dengan asas legalitas. Pemerintah daerah harus bertindak sesuai kewenangan yang berlaku. Pemerintahan Daerah tidak boleh bertindak dengan menyalahgunakan wewenang dan melampaui atau tanpa wewenang, sehingga dengan demikian dapat mewujudkan Negara sejahtera.

 

B.  Saran-Saran

3.    Pemerintahan daerah di dalam menjalankan wewenangnya di dalam melaksanakan otonomi daerahnya tidak terlepas dari prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ).

4.    Pemerintahan daerah diharapkan dapat melakukan pengawasan yang lebih optimal terhadap pembangunan yang dilakukan oleh desa-desa di daerah otonomi tersebut agar tercipta pembangunan yang merata di daerah otonomi tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986.

 

C.S.T. Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.

 

Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1997.

 

----------------------, Pemerintahan Daerah dan Beberapa Segi Hubungan di Bawah UU No. 5 Tahun 1974, FISIPOL-UGM, Yogyakarta, 1990.

 

M. Solly Lubis, Pergeseran Baris Politik dan Perundang-undangan Mengenai Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung, 1983.

 

Mac. Andrews, Colin & Ichlasul Amal, Hubungan Pusat dan Daerah Dalam Pembangunan, Rajawali, Jakarta, 1993.

 

Mashuri Muschab, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia Menurut UUD 1945, FISIFOL-UGM, Yogyakarta, 1982.

 

Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah, Sinar Harapan, Jakarta, 1999.

 

Soegeng Istanto F, Beberapa Segi Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Negara Kesatuan Indonesia, FISIFOL-UGM, Yogyakarta, 1968.

 

S. Pamuji, Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1985.

 

The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Negara Republik Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1996.

 

Y.W. Sunindhia, Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1996.

 

 

 

 

 

 

 

Undang-Undang Dasar 1945, Sekretariat Jenderal, Jakarta, 2003.

 

Undang-Undang Otonomi Daerah No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

 

Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Tugas Wakil Kepala Daerah.

 

Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

 

 



[1] Baca Makalah Jimly Asshiddiqie. Otonomi Daerah dan Parlemen di Daerah. www.legalitas.org., Sabtu, 21 April 2007

[2] Ibid. Hal. 7

[3] UUD 1945, Pasal 18A, Pasal 18B

[4] Bagir Manan, 2001. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH FH UI / Yogy. Hal. 3

[5] Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, LN-RI Tahun 2004 Nomor 125

[6] Ibid, Pasal 10 ayat (3), LN-RI Tahun 2004 Nomor 125.

[7] Pasal 13, Ibid, LN-RI Tahun 2004 Nomor 125

[8] UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 14 ayat (1), LN-RI Tahun 2004 Nomor 125

[9] Pasal 15, Ibi, LN-RI Tahun 2004 Nomor 125

[10] Pasal 18, Ibid, LN-RI Tahun 2004 Nomor 125

[11] UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 21, LN-RI Tahun 2004 Nomor 125

[12] Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 29 ayat (3), LN-RI Tahun 2004 Nomor 125

[13] Ibid. Pasal 29 ayat (4)

[14] Ibid, Pasal 30 ayat (1) dan (2)

[15] Ibid, Pasal 31 ayat (1) dan (2)

[16] Ibid, Pasal 32 ayat (1) s.d ayat (7)

[17] Ibid, Pasal 33 ayat (1) s.d ayat (3)

[18] Ibid, Pasal 34 ayat (1) s.d ayat (4)

[19] Ibid, Pasal 35 ayat 1) s.d ayat (5)

[20] Ibid, Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (3)

[21] Ibid, Psal 36 ayat (4)

[22] Ibid, Pasal 36 ayat (5)

[23] Ibid, Pasal 37 ayat (1) dan (2)

[24] Ibid, Pasal 37 ayat (2) sampai dengan ayat (4)

[25] Ibid, Pasal 37 ayat (2) sampai dengan ayat (4)

[26] Ibid, Pasal 39. Lihat UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD No. 22 Tahun 2003, LN-RI Tahun 2003 No. 92

[27] Ibid, Pasal 40

[28] Ibid, Pasal 41

[29] Ibid, Pasal 42 ayat (2)

[30] Ibid, hlm. 191

[31] Ibid, Pasal 43 ayat (1) sampai dengan ayat (8)

[32] Ibid, Pasal 44 ayat (1)

[33] Ibid, Pasal 45

[34] Ibid, Pasal 46 ayat (1) dan (2)

[35] Ibid, Pasal 47 ayat (1) sampai dengan ayat (4)

[36] Ibid, Pasal 48

[37] Ibid, Pasal 49 ayat (1)

[38] Ibid, Pasal 50 ayat (1) s.d. ayat (7)

[39] Ibid, Pasal 51 ayat (1) dan (2)

[40] Ibid, Pasal 52 ayat (1), (2), dan (3)

[41] Ibid, Pasal 53 ayat (1) sampai dengan ayat (5)

[42] Ibid, Pasal 54 ayat (1) dan (2)

[43] Ibid, Pasal 54 ayat (3) sampai dengan ayat (6)

[44] Ibid, Pasal 55 ayat (1)

[45] Ibid, Pasal 55 ayat (2)

[46] Ibid, Pasal 55 ayat (3) sampai dengan ayat (5)

[47] Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Balai Pustaka, 1994, hlm. 158

[48] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru-van Hoeve, Jakarta, 1994

[49] Diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004, Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437

[50] Pasal 22 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

[51] Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

[52] Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

[53] Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

[54] Ibid, ayat (3)

[55] Selanjutnya, pembentukan, susunan, tugas dan wewenang alat kelengkapan tersebut diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Lihat Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

[56] Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

[57] Pasal 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

[58] Pasal 41 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

[59] Pasal 43 ayat (1)

[60] Pasal 43 ayat (2)

[61] Pasal 43 ayat (3)

[62] Pasal 43 ayat (4)

[63] Pasal 43 ayat (5)

[64] Pasal 43 ayat (6)

[65] Pasal 43 ayat (7)

[66] Pasal 43 ayat (8)

[67] Pasal 44 ayat (2)

[68] Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

[69] Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang  Nomor 32 Tahun 2004

[70] Pasal 50 ayat (2)

[71] Pasal 50 ayat (3)

[72] Pasal 50 ayat (4)

[73] Pasal 50 ayat (5)

[74] Pasal 50 ayat (6)

[75] Pasal 50 ayat (7)