Thursday 5 April 2018

PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIAEvi Purnamawati, PEMUNGUTAN PAJAK DI INDONESIA, Halaman. 437-342 Volume 13, Nomor III, Bulan September, Tahun 2017



PEMUNGUTAN  PAJAK  DI INDONESIA
Oleh :
Evi Purnamawati
Fakultas Hukum Universitas Palembang

ABSTRACT
               Tax imposition among tax subjects is balanced with ability that is balanced with the income they enjoy under government protection. The tax levied must be based on the law so as to ensure the legal certainty, both for tax authorities as tax collectors and taxpayers as taxpayers. The research method using the normative research type, the result of the discussion of tax collection should be done sehemat (as efficiently) not to the cost of tax levy greater than the tax revenue itself. The system used in taxes through 3 (three) are: Official assessment system, self assessment system with holding system, factors that hinder tax levies in Indonesia, lack or absence of public awareness, centralized central government authority in the supervision of local tax collection, the preparedness of the region in handling the tax dispute, the granting of licenses, the recommendations and the execution of public services that are less or incompatible with the scope of its duties, the tax conclusions are paid by the taxpayer at maturity or when conducting taxable taxable items managed by the Central Government there are also taxes levied by the Provincial Government either District or District / City, Provincial Tax and City District. Lack of citizens' awareness of the obligation to pay taxes even some taxes are perceived as coercive for citizens.
Keywords: tax collection system

ABSTRAK
Pembebanan pajak diantara subjek pajak seimbang dengan kemampuannya yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya dibawah perlindungan pemerintah. Pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar  pajak. Metode penelitian menggunakan jenis penelitian normatif, hasil pembahasan pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) jangan sampai biaya pungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri. Sistem yang digunakan pajak melalui 3 (tiga) yaitu : Official assesment system, self assesment system with holding sistem, faktor-faktor yang menghambat pungutan pajak di Indonesia, kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat, sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat dalam pengawasan pemungutan pajak daerah, kurang siapnya daerah dalam menangani sengketa pajak, pemberian perizinan, rekomendasi dan pelaksanaan pelayanan umum yang kurang atau tidak sesuai dengan ruang lingkup tugasnya, kesimpulan  Pajak dibayarkan oleh wajib pajak pada saat jatuh tempo atau pada saat melakukan hal – hal yang dapat dikenakan pajak pajak-pajak yang dikelola Pemerintah Pusat juga terdapat pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota, Pajak Provinsi dan Kabupaten Kota.  Kurangnya kesadaran warga negara akan kewajiban pembayaran pajak bahkan sebagian orang pemungutan pajak dianggap sebagai suatu pemaksaan bagi warga negara.
Kata kunci : sistem pemungutan pajak



A.PENDAHULUAN
Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara baik dibidang kenegaraan maupun dibidang sosial dari ekonomi,
pada mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada araja dalam memelihara kepentingan negara, seperti menjaga keamanan negara, menyediakan jalan umum, membayar gaji pegawai dan lain-lain.[1] Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai amanat undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia.
Pajak bagi kelangsungan pembangunan Negara sangatlah penting. Karena itu pemerintah terus berupaya menggali berbagai potensi tax coverage (lingkup/cakupan pajak) sekaligus menekankan tax compliance (kepatuhan pajak) masyarakat. Namun, kepatuhan pajak yang bersumber dari kesadaran masyarakat terhadap penunaian kewajiban membayar pajak itu tentu bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Berbagai persoalan perpajakan yang kerap muncul, baik yang bersumber dari wajib pajak (masyarakat), aparatur pajak (fiscus), maupun yang bersumber dari sistem perpajakan itu sendiri menunjukkan bahwa persoalan pajak merupakan  hal yang kompleks.
Setiap pemungutan pajak harus meliputi seluruh wajib pajak, tidak seorang atau sebuah badan yang lolos dari pemungutan pajak, pemungutan pajak tidak boleh diskriminasi, harus sama dan diterapkan peraturan pajak yang sama, sebaimana yang dimaksud dalam teori keadilan secara horizontal.
 Menurut beberapa ahli, pengertian pajak dapat diartikan sebagai berikut :
1.      Menurut Sommerfeld: pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa mendapat suatu imabalan kemabali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas tugasnya dalam pemerintahan.
2.      Menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro: pajak adalah pengalihan kekayaan dari pihak rakyat kepada negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan digunakan untuk ‘public saving’ yang merupakan sumber utama untuk membiayai ‘public investment’. Dari pengertian itu dapat disimpulkan unsur-unsur yang terdapat dalam pajak ialah :
Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksananya; 
1.      Sifatnya dapat dipaksakan, hal ini berarti bahwa pelanggaran atas iuran perpajkan dapat dikenakan sanksi; 
Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun daerah;
2.      Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment
3.         Menurut Prof. DR. M.J.H. Smeets: pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa ada kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah
4.        Menurut Prof. Dr .P. J. A Adriani pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan UU dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran yang berhubungan dengan tugas Negara dan pemerintahan. Sebenarnya masih banyak lagi para ahli dan pakar perpajakan yang mengemukakan pengertian pajak dengan menggunakan kalimat masing-masing.[2]
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana sistem pengumutan pajak ?
2.  Kendala dan hambatan yang dialami   
     dalam pemungutan pajak di Indonesia ?
C. Tujuan   penulisan
untuk menjelaskan dan  menganalisis   sistem pemungutan pajak 
D. Metode  Penulisan
Penelitian ini menggunakan  metode penulisan yuridis normative / Metode study kepustakaan

E.PEMBAHASAN
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Beberapa jenis pajak dapat dibagi menjadi:
1.         Pajak Penghasilan (PPh) : PPH adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut atas penghasilan dari semua orang yang berada di wilayah Republik Indonesia .
2.        Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. 
3.        Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah : Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status sosial.
4.        Bea Meterai adalah  pajak yang dikenakan atas dokumen, dengan menggunakan benda materai atau benda lainya contohnya dengan menggunakan mesin teraan, pemeteraian, kemudian dan surat setoran pajak.
5.        Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB adalah atas harta tak bergerak yang terdiri atas tanah dan mbangunan (property tax).
6.        Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB ) BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan yang berlaku.[3]
Selain pajak-pajak yang dikelola Pemerintah Pusat juga terdapat pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain:
Pajak Propinsi
a.       Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
b.      Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
c.       Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,
d.      Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
Pajak Kabupaten / Kota
a.       Pajak Hotel,
b.      Pajak Restoran,
c.       Pajak Hiburan,
d.      Pajak Reklame / Iklan,
e.       Pajak Penerangan Jalan,
f.       Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C,
g.       Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

1.Sistim Pemungutan  pajak
Pada dasarnya terdapat 3 ( tiga ) cara / system yang dipergunakan untuk menentukan siapa yang menghitung dan menetapkan jumlah pajak yang terutang oleh seseorang, yaitu :
1.      Official Assesment System
Official Assesment System yaitu system pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang oleh wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh aparat pajak atau fiskus. Dalam system ini utang pajak timbul bila telah ada ketetapan pajak dari fiskus ( sesuai dengan ajaran formil tentang timbulnya utang pajak ). Jadi dalam hal ini wajib pajak bersifat pasif.
2.      Self Assesment System
Self Assesment System yaitu system pemungutan pajak dimana wewenang menghitung besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak diserahkan oleh fiskus kepada wajib pajak yang bersangkutan, sehingga dengan sisten ini wajib pajak harus aktif untuk menghitung, menyetor dan melaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak ( KPP ), sedangkan fiskus bertugas memberikan penerangan dan pengawasan.
3.        With Holding System
With Holding System yaitu system pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang dihitung oleh pihak ketiga ( yang bukan wajib pajak dan juga bukan aparat pajak / fiskus ).
Di Indonesia, ada bermacam-macam jenis pengenaan pajak. Pajak yang digali pemerintah antara lain adalah Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan. Sistem pemungutan pajak yang digunakan saat ini adalah Self Assessment System dimana Wajib Pajak diberi kesempatan untuk melaporkan, menghitung, dan melaksanakan pembayaran pajak yang terutang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak dengan sistem pemungutan semi self assesment dimana pihak fiskus yang lebih proaktif dan kooperatif melakukan penghitungan, penetapan pajak terutang dan mendistribusikan kepada pemerintah daerah melalui Dinas Pendapatan Daerah berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang diisi oleh Wajib Pajak atau verifikasi pihak fiskus di lapangan. Pemerintah daerah melaui Kelurahan/Desa bahkan mendistribusikan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) sampai ketangan Wajib Pajak dan juga menerima pembayaran PBB. Penyetoran pajak terutang selain melaui petugas pemungut kelurahan/desa, juga dapat dilakukan di Bank/Kantor Pos yang telah ditunjuk dalam SPPT dan juga melalui e-payment, transaksi pembayaran melaui perangkat elektronik perbankan, yaitu melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM), Internet Banking ataupun Teller Bank yang online di seluruh Indonesia. Kebijakan-kebijakan diatas diberlakukan oleh pemerintah melalui Direktorat Jendral Pajak sebagai instansi yang berwenang mengurus masalah pajak dengan tujuan mempermudah Wajib Pajak PBB melaksanakan kewajibannya dibidang perpajakan sehingga kepatuhan dan kesadaran Wajib Pajak yang selama ini belum sepenuhnya berjalan dengan baik dapat diminimalisir dengan segala kemudahan yang diberikan. Sehingga target penerimaan negara yang berasal dari pajak, khususnya Pajak Bumi dan Bangunan tercapai dengan maksimal.[4]
B. Faktor  Kendala Dalam  Pemungutan  Pajak  Secara Umum
Dalam pemungutan pajak secara umum baik pajak pusat maupun daerah sering kali terdapat kendala-kendala yang melemahkan dalam pemungutan pajak. selain karena semakin hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pajak karena maraknya kasus – kasus korupsi yang menjerat pegawai pajak, tidak hanya itu masih banyak faktor – faktor lain yang menghambat jalannya pemungutan pajak di Indonesia antara lain:  Dalam pemungutan pajak secara umum baik pajak pusat maupun pajak daerah, seringkali terdapat kendala-kendala yang melemahkan dalam pemungutan pajak. Kendala-kendala tersebut antara lain:
1.    Berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang yang sering kali tidak konsisten dengan undang-undangnya.
Melaksanakan tax reform lebih pelik dan makan waktu dibandingkan dengan ketika merancang tax reform dalam undang-undang, apabila peraturan pelaksanaan yang dijadikan dasar dalam melaksanakan aturan hukum pajak tidak konsisten dengan undang-undang, tentu akan mengakibatkan kendala yang fatal dalam pemungutan pajak.
2. Kurangnya pembinaan antara pajak daerah dengan pajak nasional.
       Pajak daerah dan pajak nasional merupakan satu sistem perpajakan   Indonesia, yang pada dasarnya merupakan beban masyarakat sehingga perlu dijaga agar kebijaksanaan perpajakan tersebut dapat memberikan beban yang adil. Sejalan dengan perpajakan nasional, maka pembinaan pajak daerah harus dilakukan secara terpadu dengan pajak nasional. Pembinaan harus dilakukan secara terus menerus, terutama mengenai objek dan tarif pajaknya supaya antara pajak pusat dan pajak daerah saling melengkapi.
3. Database yang masih jauh dari standar Internasional. Kendala lain yang dihadapi aparatur pajak adalah database yang masih jauh dari standar internasional. Padahal database sangat menentukan untuk menguji kebenaran pembayaran pajak dengan sistem self-assessment. Persepsi masyarakat , bahwa banyak dana yang dikumpulkan oleh pemerintah digunakan secara boros atau dikorup, juga menimbulkan kendala untuk meningkatkan kepatuhan pembayar pajak. Berbagai pungutan resmi dan tidak resmi, baik di pusat maupun di daerah, yang membebani masyarakat juga menimbulkan hambatan untuk menaikkan penerimaan pajak.
4. Lemahnya penegakan hukum (law enforcement) terhadap kepatuhan membayar pajak bagi penyelenggara negara.
F. KESIMPULAN
Pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa mendapat suatu imabalan kemabali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas tugasnya dalam pemerintahan. Pajak dibayarkan oleh wajib pajak pada saat jatuh tempo atau pada saat melakukan hal-hal yang dapat dikenakan pajak, Melalui pembayaran pajak Negara dapat membiayai kepentingan Negara dan membangun sarana dan prasarana yang dapat berguna bagi kepentingan umum. Pajak dibayarkan oleh wajib pajak pada saat jatuh tempo atau pada saat melakukan hal-hal yang dapat dikenakan pajak pajak-pajak yang dikelola Pemerintah Pusat juga terdapat pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota, Pajak Provinsi dan Kabupaten Kota.  Kurangnya kesadaran warga negara akan kewajiban pembayaran pajak bahkan sebagian orang pemungutan pajak dianggap sebagai suatu pemaksaan bagi warga negara.

DAFTAR PUSTAKA
A.Buku
Boedjono, Perpajakan di Indonesia, Diadit Media, Jakarta, 2000.
Bohari, Pengantar Hukum Pajak Edisi Pertama, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta Brotodiharjo, Santoso, 2008, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Refika
Gunadi, Pajak Internasional Lembaga. Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia.
Muqodim, 1993, Dasar-dasar Hukum Pajak Pembaharuan Perpajakan Nasional, Fakultas Ekonomi Islam Indonesia, Jogyakarta
Muhammad Djapar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2007.
Hilariou Abut, Perpajakan. Diadit Media. Jakarta, 2005
R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Erisco, Bandung, 1986
Syofiiin dan Asyhar , Hukum Pajak dan Permasalahannya, Refika Aditaman, Bandung.
B.Perundangan-undangan
Undang – undang No.6 tahun 1983 tentang pajak Undang – undang No. 28 tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tata caraperpajakan.
Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang pajak Penghasilan sebagaimana yang telah diubah terakhir kali dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000.
Undang-Undang Pajak Tahun 2017.





[1] Suandy , Hukum Pajak, Penerbit Salemba empat, 2003. hal. 59
[2] Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Erisco, Bandung 1986. Hal. 13.
[3] Ibid, hal. 80.
[4] Saidi, Perlindungan Hukum Pajak dalam Menyelesaikan Sengketa Pajak, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2010. Hal. 114-115.

ANALISA YURIDIS PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Evi Purnama Wati, ANALISA YURIDIS PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. Halaman. 127-133 Volume 13, Nomor I, Bulan Januari, Tahun 2017



ANALISA YURIDIS PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

Oleh : Evi Purnama Wati
Fakultas Hukum Universitas Palembang

Abstract

               This research studies regarding Election, One manifestation of the principle of the sovereignty of the People is the general elections as stipulated in the Electoral Law No. 15 of 2011 and the Political Parties Act No. 2 of 2011. By diberlakunya Law Number 23 Year 2014 About Local government is closely related to the principle of Sovereignty of the people that the rights of the people in determining the leader. Local elections were not the regulation of election of Regional Head and Vice Regional Head directly believed to be the election of the most democratic to ensure the implementation of the sovereignty which exist in people with the election of Regional Head will directly reduce the form-bentuj collusion among the people's representatives in Parliament with Regional Head candidates. The issue of what the strengths and weaknesses of the system local elections directly and system local elections through Parliament, this kind of research normative juridical, cover basically local elections could directly create elected regional heads increasingly responsible for the people themselves who give the mandate to the head area the. While the general election is very vulnerable to a vote and money politics. Local elections conducted by legislators resulted in people's participation in politics seemed to be limited. When the election is many times dihawatirkan will be many people who choose not to vote and ineffective as bored come to the polls.
Keywords: Election

Abstrak
Penelitian ini mengkaji mengenai Pemilukada, Salah satu wujud dari asas kedaulatan Rakyat adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Pemilu Nomor 15 tahun 2011 dan Undang-Undang Partai Politik Nomor 2 tahun 2011. Dengan diberlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah berkaitan erat dengan asas Kedaulatan Rakyat yaitu hak-hak rakyat dalam menentukan pemimpin. Pemilihan Kepala Daerah dahulu tidak diaturnya pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah secara langsung diyakini sebagai pemilihan paling demokratis untuk menjamin terselenggaranya kedaulatan yang ada pada rakyat dengan pemilihan Kepala Daerah secara langsung akan mengurangi bentuk-bentuk kolusi diantara wakil-wakil rakyat yang ada di DPRD dengan calon Kepala Daerah. Permasalahannya apa kelebihan dan kelemahan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung, jenis penelitian ini Yuridis Normatif , penutup pada dasarnya pemilihan kepala daerah secara langsung bisa membuat kepala daerah terpilih semakin bertanggung jawab karena rakyat sendirilah yang memberikan mandat kepada kepala daerah tersebut. Sedangkan pemilihan secara umum sangat rawan terhadap penggelembungan suara dan politik uang.
Kata kunci: Pemilukada


A . PENDAHULUAN
Negara merupakan ententitas kolektif dengan batas-batas wilayah dan organisasi politik yang menjalankan kekuasaan berdaulat. Dalam suatu organisasi politik disuatu territorial (daerah tertentu). Negara sebagai suatu badan politik membutuhkan 3 (tiga) hal yaitu:
1.      Adanya rakyat yang merupakan totalitas dari orang yang membentuk Negara;
2.      Adanya suatu wilayah khusus sebagai basis special (ruang) dari Negara;
3.      Adanya alat Negara sebagai pengemban otoritas kekuasaan Negara yang sah.
Pendapat diatas pada hakikatnya sama dengan apa yang dikemukakan oleh Alfian,[1] yang menyatakan bahwa unsur-unsur Negara adalah; adanya Rakyat; adanya Wilayah; dan
            mengenal syarat adanya sebuah Negara. Sedangkan pandangan modern tentang Negara menyatakan bahwa Negara terdiri dari 4 (empat) unsur yaitu: Adanya rakyat, adanya wilayah, adanya pemerintah dan adanya pengakuan dari Negara lain diluar Negara tersebut. Berdirinya suatu Negara menurut Sammijo.[2] Tentunya memiliki tujuan, antara lain: tujuan keamanan dan ketenraman rakyat, pertahanan Negara, serta untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan menurut Frans magnis Suseno,[3] menyatakan bahwa tujuan Negara itu harus dinyatakan dalam bahasa yang performatif, artinya Negara harus merealisasikan suatu keadaan dalam masyarakat yang berorientasi pada nilai nilai hukum sebagai orientasi etis, nilai-nilai tersebut anatara lain; nilai kesamaan, nilai kebebasan, dan nilai-nilai solidaritas dalam artian senasib sepenagunggungan.
Salah satu unsur Negara adalah pemerintah yang berdaulat untuk mengurus segala kepentingan yang berhubungan dangan rakyat. Menurut Thomas Hobbes[4] pemerintahan pada awalnya dibentuk untuk menghindari keadaan dimana sebuah wilayah yang dihuni oleh manusia mengalami kekacuan. Keadaan yang kacau itu memaksa seseorang atau kelompok orang dengan pengaruh yang ditimbulkannya untuk membentuk kelompok terkuat dalam upaya menetralkan suatu kelompok dari gangguan kelompok lain, di dalam perkembangan kelompok inilah yang menjadi kelompok istimewa untuk melakukan apa saja bagi kepentingan perlindungan dan penyelamatan masyarakat terjadinya kesepakatan untuk membentuk sebuah Negara menurut hobbes rakyat tidak menyerahkan semua haknya kepada Negara, ada beberapa hak yang tidak dapat diserahkan anatara lain: ha katas kehidupan, ha katas kemerdekaan dan hak atas milik pribadi, menurutnya jika hak ini dirampas oleh; Negara itu tidak sesuai dengan fungsinya sebagai Negara yaknu melindungi manusia sebagai warganya.
Dengan demikian maka hilanglah keabsahan Negara itu. Ketiga macam hak ini selanjutnya dikembangkan menjadi konsep Hak Asasi Manusia (HAM) Hak-hak ini oleh Frans Magnis Suseno, disebut sebagai hak-hak dasar negatif dan inti dari hak-hak dasar (asasi) manusia yang merupakan cikal bakal Kedaulatan yang ada pada rakyat yang dituangkan dalam perjanjian bersama.
Di Indonesia asas kedaulatan rakyat ini dimasukkan dalam prinsip bernegara sebagaimana termuat didalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 alenia keempat menyatakan “kemerdekaan Kebagsaan Indonesia disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.[5]
Salah satu wujud dari asas kedaulatan Rakyat adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Pemilu Nomor 15 tahun 2011 dan Undang-Undang Partai Politik Nomor 2 tahun 2011. Dengan diberlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah berkaitan erat dengan asas Kedaulatan Rakyat yaitu hak-hak rakyat dalam menentukan pemimpin. Pemilihan Kepala Daerah dahulu tidak diaturnya pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah secara langsung diyakini sebagai pemilihan paling demokratis untuk menjamin terselenggaranya kedaulatan yang ada pada rakyat dengan pemilihan Kepala Daerah secara langsung akan mengurangi bentuk-bentuj kolusi diantara wakil-wakil rakyat yang ada di DPRD dengan calon Kepala Daerah.
Diberlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah maka terjadi perubahan system pemilihan Kepala Daerah yang dahulunya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik Tingkat I, Tingkat II atau Kota, saat ini dengan diberlakunya Undang-Undang tersebut maka proses pemilihan itu melibatkan rakyat yang telah terdaftar sebagai pemilih dan memenuhi syarat-syarat secara keseluruhan. PILKADA langsung ini mempunyai makna khusus karena menjadi indikasi daripada menguatnya partisipasi politik masyarakat selain itu pemilihan Kepala Daerah secara langsung ini merupakan bentuk legitimasi politik akuntabilitas pemerintahan dan memperkuat serta saling mengawasi antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Pemerintah Daerah[6].
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sesudah amandemen tidak menyebutkan Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung, didalam Pasal yang menyatakan hal tersebut  hanya menyebutkan pemilihan secara demokratis sesuai dengan subtansi pasal 18 ayat 4 (empat) menyatakan “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara Demokratis” akan tetapi desakan masyarakat akan adanya pemilihan secara langsung cenderung meguat maka diadakanlah Pemilihan Kepala Daerah langsung yang diamanatkan melalui Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini jelas disebutkan didalam pasal 24 Ayat (5) yang menyatakan bahwa: Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan dan Pasal 56 ayat (1) yang berbunyi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia jujur dan adil. [7]
       Demokratis adalah suatu Sistem Pemerintahan yang memberikan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat kata demokratis itu sediri berasal dari bahasa yunani yang terdori dari “demos” dan “kratos”. “demoskrasi” meletakan kekuasaannya ditangan rakyat.
B. Permasalahan
Dari uraian yang telah di paparkan diatas, dapat penulis menemukan permasalahan sebagai berikut: Apa kelebihan dan kelemahan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung?
C.  Tujuan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan terutama bagi diri penulis umumnya bagi disiplin Ilmu Hukum Tata Negara, khususnya menyangkut tentang kelebihan dan kelemahan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung serta sistem peradilan menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
D.  Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian bahan hukum dengan pendekatan Yuridis Normatif, Bahan hukum dengan penelitian ini terdiri dari bahan hukum Primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum Tertier:
1.    Bahan hukum Primer meliputi Undang-Undag Dasar 1945 Pasca Amandemen, Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor  15 tahun 2011 tentang Pemilu, serta Peraturan KPU Nomor 6 tahun 2016.
2.    Bahan hukum sekunder meliputi buku-buku, hasil penelitian, tulisan tulisan karya ilmiah,jurnal,koran, bahan dari internet dan majalah yang ada kaitannya dengan penelitian ini;
3.    Bahan hukum tersier adalah berupa kamus kamus; Hukum, Inggris, Indonesia
E. PEMBAHASAN
1. Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung
Dalam UUD 1945 Bab VI Pemerintahan Daerah pasal 18 (4) menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Tidak ada kata-kata pemilihan langsung sebagaimana dalam pasal yang mengatur tidak langsung atau pada. Dalam negara demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung, maka memenuhi kaidah demokrasi jika pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Begitupun dalam Negara demokrasi langsung pemilihan kepala daerah secara langsung memenuhi kaidah demokrasi sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat[8].
Ilmuwan politik Juan J Linz dan Alfred Stepan mengatakan, suatu Negara dikatakan demokratis bila memenuhi persyarat anatara lain masyarakat memiliki kebebasan untuk merumuskan prefensi-prefensi politik mereka melalui jalur jalur perserikatan, informasi dan komunikasi: memberikan ruang berkompetensi yang sehat dan melalui cara-cara damai: serta tidak melarang siapapun berkompetensi untuk jabatan politik [9].
Pada awalnya pemilihan kepala daerah dan wakilnya dilakukan oleh DPRD. Namun sejak disahkannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemilihan kepala daerah dilakukan dengan cara pemilihan umum. Pemilihan umum kepala daerah dilakukan oleh KPU Provinsi dan KPU kabupaten serta diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum. Panwaslu itu sendiri terdiri dari kejasksaan, perguruan tinggi, kepolisian, pers serta tokoh masyarakat seperti yang telah ditetapkan dalam Pasal 57 ayat (3) UU No. 32 tahun 2004.
Pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemilihan kepala daerah secara lamgsung akan dilaksanakan setelah masa jabatan kepala daerah lama telah berakhir. Di Indonesia sendiri pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung. Sebelum melakukan pemilihan umum, seluruh kandidat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus memenuhi syarat yang telah ditentukan pada Pasal 58 UU No. 32 tahun 2004.
Peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Hal ini sesuai dengan Pasal 56 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004. Namun ketentuan ini diubah dengan UU No. 12 tahun 2008 yang menyatakan bahwa “peserta Pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang”. Undang-undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004[10].
Dengan dilakukan pemilihan kepala daerah secara langsung bias memutus politik olgaki dikalangan elit politik dalam menempatan kepala daerah. Karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat maka tidak ada kehawatiran tentang penempatan kepala daerah yang didasarkan pada kepentingan individu.
Pada dasarnya pemilihan kepala daerah secara langsung bisa membuat kepala daerah terpilih semakin bertanggung jawab karena rakyat sendirilah yang memberikan mandat kepada kepala daerah tersebut. Sedangkan pemilihan secara umum sangat rawan terhadap penggelembungan suara dan politik uang. Politik uang itu sendiri kini telah menjadi rahasia umum yang mengakibatkan moral pemimpin yang terpilih dengan politik uang menjadi terpuji. Modal pencalonan kepala daerah dengan gaji dan tunjangan ketika menjadi kepala daerah yang tidak sebanding akan mengakibatkan kepala daerah mudah tersandung kasus korupsi.
Disisi lain legislatif dan eksekutif mempunyai tugasnya masing-masing sehingga bisa saling mengimbangi dalam menjalankan tugasnya. Dalam sebuah pandangan dijelaskan bahwa legislatif memiliki tugas untuk menyalurkan kehendak rakyat. Sedangkan eksekutif memiliki tugas mengimpentasi hukum dan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh legislatif.
F. KESIMPULAN
1.    Kelebihan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung
a.       Menghasilkan Kepala Daerah yang bertanggung jawab
b.    Menghapuskan sistem politik okigaki
c.    Menimbulkan keseimbangan antara anggota eksekutif dan anggota legislatif
2. Kelemahan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung
a.       Biaya yang dikeluarkan negara untuk melangsungkan pemilihan umum cukup tinggi
b.      Rawan terjadi penggelembungan suara dan politik uang
c.       Rakyat enggan menggunakan hak pilihnya
d.      Pembatasan partispasi Kepala Daerah Pada
f.       Adanya mosi tidak percaya DPRD kepada kepala daerah

DAFTAR PUSTAKA
Alfian,             Pemikiran dan Perubahab Politik Indonesia, Gramedia Jakarta, 1986
Daniel S Salosa,          mekanisme, Persyaratan dan Tata Cara PILKADA langsung menurut  Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Media Pressindo, Yogyakarta, 2005
Dianto,            Jurnal Ilmiah Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsug Oleh Rakyat Dan Pada, 2013
Diantoro,         Kedudukan Kepala Daerag dalam sistem pemerintahan Daerah di Indonesia, (Sriksipsi Sarjana) pada Fakultas sosial Politik Univesitas Padjajaran, Bandung
Fran Magnis Suseno, Eitka Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, cer.ket 7
Thomas Hobbes,         dalam Muhammad labolo, memahami Ilmu Pemerintahan suatu kajian, Teori, Konsep dan Pengembangannya. PT. Raja Grapindo Persada, Jakarta,2006
Konsil, C.S.T.             Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara, 2013
Kaho, Riwu,    Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Jakarta, Bina Aksara, 2010
Rizal,   Jurnal Konflik Pilkada Dalam Era Demokrasi, 2013
Sammijo, Ilmu Negara, Armiko, Bandung, 1986,
Sujanto, Otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, Jakarta : Gholia 2016
Sujanto, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta : Bina Aksara, 2016
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Omer, 2011, http://bolmerhutasoit.wordpress.com/tag/undag-undang-nomor-32-tahun-2004-tentang-pemerintahan-daerah/



[1]Alfian, Pemikiran dan Perubahab Politik Indonesia, Gramedia Jakarta, 1986, hlm 37
[2] Sammijo, Ilmu Negara, Armiko, Bandung, 1986, hlm 218
[3] Fran Magnis Suseno, Eitka Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, cer.ket 7 hlm, 304
[4] Thomas Hobbes, dalam Muhammad labolo, memahami Ilmu Pemerintahan suatu kajian, Teori, Konsep dan Pengembangannya. PT. Raja Grapindo Persada, Jakarta,2006, hlm 15
[5] Lihat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945.
[6] Daniel S Salosa, mekanisme, Persyaratan dan Tata Cara PILKADA langsung menurut  Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Media Pressindo, Yogyakarta, 2005, hlm 9.
[7] Lihat pasal 56 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
[8] Diantoro, Kedudukan Kepala Daerag dalam sistem pemerintahan Daerah di Indonesia, (Sriksipsi Sarjana) pada Fakultas sosial Politik Univesitas Padjajaran, Bandung.
[9] Konsil, C.S.T. Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara, 2013, hal 78
[10]  Kaho, Riwu, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Jakarta, Bina Aksara, 2010, hal 105