Wednesday 9 October 2013

ANALISIS KEDUDUKAN DAN FUNGSI YUDIKATIF SEBAGI PEMEGANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM SISTEM NEGARA HUKUM DI INDONESIA

Oleh :

EVI PURNAMA WATI, SH, MH.[1]

 

 

ABSTRAK

 

Penelitian ini mengaji tentang  Kekuasaan Kehakiman dalam konteks negara indonesia adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggarannya negara Repubik Indonesia. Salah satu agenda penting yang perlu  di hadapi di masa depan penegakan hukum di Indonesia, dan hal utama dalam penegakan hukum adalah masalah kekuasaan kehakiman yang merdeka Kekuasaan kehakiman tidak mungkin dapat terlepas dari konstitusi yang berlaku di Indonesia, yaitu UUD 1945. Pada hakekatnya kekuasaan kehakiman hanyalah merupakan suatu sistem yang lebih luas, yaitu sistem konstitusional yang berlaku di suatu negara, yang menjadi lembaga-lembaga negara, fungsi, kewenangan serta tanggung jawab masing-masing lembaga. permasalahan dalam  penelitian ini adalah sebagai berikut : Bagaimana Kedudukan Kekuasaan Kehakiman menurut Undang-Undang Dasar 1945 ? Bagaimana Fungsi dan Wewenang Kekuasaan Kehakiman ? Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah jenis penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif empiris empiris merupakan penelitian yang mengkaji suatu permasalahan yang bersumber dari data yang di dapat di lapangan, sementara penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang mengkaji suatu permasalahan yang bersumber kepustakaan mulai dari Undang-Undang, literatur-literatur buku, jurnal ilmiah, dan media. Hasil penelitian dan pembahasan, Kekuasaan Kehakiman menurut konstitusi adalah mewujudkan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia yaitu : Terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur melalui jalur hukum. Reformasi di bidang kekuasaan kehakiman ditujuhkan untuk pertama ; menjadikan kekuasaan kehakiman sebagai sebuah institusi yang independen, kedua; mengembalikan fungsi yang hakiki dari kekuasaan kehakiman,untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum,ketiga; menjalankan fungsi check and balances bagi institusi kenegaraan lainnya, keempat; mendoromg dan memfasilitasi serta menegakkan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis guna mewujudkan kedaulatan rakyat dan kelima ; melindungi martabat kemanusiaan dalam bentuk yang paling kongkrit.kemudian  Berdasarkan Pasal 24 Ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945, maka yang diberi wewenang oleh UUD 1945 untuk melakukan kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan di bawahnya, dan oleh Mahkamah Konstitusi. Badan-badan peradilan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman mengemban tugas pokok, yakni melaksanakan public service di bidang pemberian keadilan

 

      Kata kunci: Fungsi, kekuasaan, kehakiman.

 

 

 

 

 

A.     Latar Belakang

            Pengembangan budaya hukum masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi  hukum telah mendapat pengakuan dan jaminan dari negara Republik  Indonesia melalui Perubahan ke tiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal 1 yang menentukan bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang melaksanakan kedaulatan rakyat berdasarkan UUD 1945, Artinya Negara Republik Indonesia meletakkan hukum pada keudukan yang tertinggi sekaligus sebagai prinsip dasar yang mengatur penyelenggaraan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.

            Memperhatikan perjalanan sejarah kenegaraan Republik Indonesia, perkembangan pemikiran dan praktik mengenai prinsip-prinsip negara hukum diakui mengandung kelemahan, yakni hukum menjadi alat bagi kepentingan penguasa. Hal ini terbukti dalam praktik ketatanegaraan penguasa menggunakan wacana negara hukum dengan melepaskan hakikat atau makna yang termuat dalam konsepsi negara hukum itu sendiri. Kelemahan tersebut menurut Abdul Hakim G. Nusantara di karenakan pranata-pranta hukum itu banyak di bangun untuk melegitimasi kekuasaan pemerintahan, memfasilitasi proses rekayasa sosial, dan untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi secara sepihak sehingga hukum belum berfungsi sepenuhnya sebagai sarana dalam mengangkat harkat serta martabat rakyat.[2]

 Kekuasaan kehakiman tidak mungkin dapat terlepas dari konstitusi yang berlaku di Indonesia, yaitu UUD 1945. Pada hakekatnya kekuasaan kehakiman hanyalah merupakan suatu sistem yang lebih luas, yaitu sistem konstitusional yang berlaku di suatu negara, yang menjadi lembaga-lembaga negara,fungsi,kewenangan serta tanggung jawab masing-masing lembaga tersebut dan bagaimana hubungan negara dengan warga negara. Dengan melihat besarnya nomor mengenai bab dan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman, maka dapat disimpulkan bahwa di samping kekuasaan kehakiman masih ada kekuasaan-kekuasaan lain yang ditentukan dalam UUD 1945. Dan  dapat disimpulkan bahwa kekuasaan-kekuasaan yang ada dalam UUD 1945  tertata dalam suatu tatanan yang sesuai dengan pandangan jiwa yang menguasai UUD 1945[3]. Dalam konteks ini UUD 1945 menempatkan kekuasaan kehakiman dalam kaitannya dengan susunan ketatanegaraan. Apa yang merupakan susunan ketatanegaraan itu meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan peraturan, susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara serta tugas-tugas dan wewenangnya.

Kekuasaan Kehakiman dalam konteks negara Indonesia adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menekkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggarannya negara Repubik Indonesia. Salah satu agenda penting yang perlu  di hadapi di masa depan penegakan hukum di Indonesia, dan hal utama dalam penegakan hukum adalah masalah kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Di akhir tahun 2009, tepatnya tanggal 29 September 2009, DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang di Bidang Kekuasaan Kehakiman. Yaitu Undang- Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Bersamaan dengan itu juga disahkan Undang-Undang No 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, Undang- Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Dan Undang-Undang No.51 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang- Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut perlu dikaji dan dipahami secara kritis oleh masyarakat terkait dengan bagaimana masa depan kekuasaan kehakiman yang merdeka pada tahun 2010 dan di masa depan.. Ini di karenakan masyarakat mendambakan agar pelaku kekuasaan kehakiman itu merdeka dan independen sehingga keadilan dan kebenaran bisa ditegakkan dengan konsisten. Yang kaya dan yang miskin harus diperlakukan secara sama di depan hukum.

            Menurut Moch.Koesnoe[4] dengan melihat konstruksi kekuasaan seperti yang terdapat dalam UUD 1945 ini menarik kesimpulan bahwa tatanan kekuasaan dalam negara RI adalah sebagai berikut :

  1. Kekuasaan Primer yang dinamakan kedaulatan. Jika dilihat dari ilmu hukum positif kedaulatan itu merupakan sumber dari segala sumber macam hukum hak atau kekuasaan yang ada dalam tata hukum. Sri Soemantri mengartikan kedaulatan itu sebagai kekuasaan tertinggi. Karena dalam negara RI, yang berdaulat adalah rakyat, maka kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945).
  2. Kekuasaan Subsidair. Yaitu Kekuasaan untuk melaksanakan kedaulatan yang lahir dari kedaulatan tersebut. Kekuasaan Subsidair ini adalah kekuasaan yang integral artinya ia meliputi semua jenis kekuasaan yang akan mewujudkan ketentuan-ketentuan hukum dasar yang termuat dalam cita hukum (Rechtsidee) dan cita hukum itu tercantum dalam bagian pembukaan UUD 1945. Dalam praktek kehidupan bangsa dan negara, kekuasaan subsidair ini merupakan kekuasaan yang diserahkan atau dilimpahkan oleh kedaulatan rakyat kepada suatu badan yang disebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
  3. Kekuasaan  melakukan kedaulatan itu oleh Hukum Dasar atau UUD 1945 dirinci lagi ke dalam cabang-cabang kekuasaan untuk melakukan kedaulatan dengan tetap memperhatikan jalan dan cata-cara yang harus ditempuh untuk mewujudkan secara nyata ketentuan Hukum Dasar sebagai isi atau kandungan dalam Rechtsidee negara Republik Indonesia.

Ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman (judikatif) jelas berbeda dengan ketentuan yang mengatur tentang kekuasaan-kekuasaan negara lainnya seperti kekuasaan legislatif,kekuasaan eksekutif, kekuasaan eksaminatif (BPK) dan kekuasaan konsultatif (DPA). Untuk cabang-abang kekuasaan negara di luar cabang kekuasaan kehakiman, UUD 1945 baik dalam pasal-pasalnya maupun dalam penjelasaanya tidak secara eksplisit menentukan kekuasaan-kekuasaan tersebut merupakan kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan-kekuasaan negara lainnya. Lain halnya dengan kekuasaan kehakiman yang secara eksplisit disebutkan dalam dua pasal. UUD 1945 yaitu Pasal 24 dan Pasal 25 sebagai kekuasaan yang merdeka.

Sejak reformasi bergulir, tampak realisasi akan perubahan terhadap UUD 1945 tidak dapat dielakkan. Sebagai salah satu agenda reformasi, perubahan terhadap UUD 1945 menjadi begitu mendesak sebab perubahan masyarakat demikian cepat, demikian pula perubahan yang terjadi dalam supra struktur Politik perlu di respon dengan perubahan Konstitusi. Konstitusi sebagai hukum dasar negara yang akan menjadi pijakan utama dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.[5]

            Susunan kekuasaan negara setelah perubahan UUD 1945 menampilkan perubahan yang sangat fundamental. MPR berubah kedudukannya dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga forum antara DPR dan DPD, DPA di hapus karena di lihat fungsinya tidak lagi strategis. DPR dipertegas kewenanganya baik dalam fungsi legislasi maupun fungsi pengawasan. Aturan tentang BPK di tambah. Selain itu UUD 1945 setelah perubahan menampakkan lembaga-lembaga baru terdiri dari komisi Pemilihan Umum,Bank Indonesia di tambah juga Lembaga Kekuasaan yaitu : Mahkamah  Agung, Mahkamah Konstitusi,  dan Komisi yudisial.

            Kekuasaan Kehakiman setelah UUD 1945 di ubah, tetap menjadi Kekuasaan yang sangat fundamental dan sebagai dari proses kekuasaan yang memiliki fungsi menegakkan keadilan. Kekuasaan Kehakiman dalam susunan kekuasaan negara menurut UUD 1945 setelah perubahan tetap ditempatkan sebagai kekuasaan yang mandiri, bebas dari campur tangan kekuasaan lain. Dalam susunan kekuasaan negara RI yang baru, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA), badan-badan peradilan lain di bawah MA (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, Peradilan Agama) serta Mahkamah Konstitusi ( Pasal 24  ayat (2) UUD 1945 ). Untuk menjaring hakim-hakim Agung yang profesional dan mempunyai integruitas terhadap profesinya sebagai penegak hukum dan keadilan, terdapat lembaga yang khusus diadakan untuk rekrutmen calon-calon Hakim Agung yaitu Komisi Yudisial (Pasal 24B UUD 1945) di bawah ini bagan struktur kekuasaan

 

 

 


Negara RI setelah Perubahan UUD 1945 dan lembaga-lembaga negara yang ada secara eksplisit disebut dalam UUD 1945.[6]

 

 

 

B. Permasalahan

            Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.    Bagaimana Kedudukan Kekuasaan Kehakiman menurut Undang-Undang Dasar 1945 ?

2.    Bagaimana Fungsi dan Wewenang Kekuasaan Kehakiman ?

 

 

Pembahasan :

1.    Kedudukan Kekuasaan Kehakiman di Negara Republik Indonesia.

Kekuasaan Kehakiman dalam konteks negara Indonesia adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menekkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggarannya negara repubik Indonesia. Salah satu agenda penting yang perlu  di hadapi di masa depan penegakan hukum di Indonesia, dan hal utama dalam penegakan hukum adalah masalah kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Di akhir tahun 2009, tepatnya tanggal 29 September 2009, DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang di Bidang Kekuasaan Kehakiman. Yaitu Undang- Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Bersamaan dengan itu juga disahkan Undang-Undang No 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, Undang-Undang N0. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Dan Undang-Undang No.51 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut perlu dikaji dan dipahami secara kritis oleh masyarakat terkait dengan bagaimana masa depan kekuasaan kehakiman yang merdeka pada tahun 2010 dan di masa depan. Ini di karenakan masyarakat mendambakan agar pelaku kekuasaan kehakiman itu merdeka dan independen sehingga keadilan dan kebenaran bisa ditegakkan dengan konsisten. Yang kaya dan yang miskin harus diperlakukan secara sama di depan hukum.

Perubahan Undang- Undang Dasar 1945 membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan, khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan  kehakiman. Perubahan tersebut antara lain menegaskan bahwa :

1.    Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah dan Badan Peradilan yang berada di bawahnyaa dalam  lingkungan peradilan umum, lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

2.    Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang;

3.    Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan memutuskan sengketa kewenagan lembaga negara yang kewenangnnya diberikan oleh Undang-Undang 1945;

4.    Komisi yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluruhan martabat, serta perilaku hakim. Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman telah sesuai dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di atas, namun substansi undang-undang tersebut belum mengatur secara komprehensif tentang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yang merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Sehubungan dengan hal tersebut,  sebagai upaya untuk memperkuat penyelenggaraan kekuasaan kehakimandan mewujudkan sistem peradilan terpadu, maka pemerintah perlu mensahkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun     2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dalam rangka kekuasaan kehakiman ini, biasa digunakan be­berapa istilah, yaitu pengadilan, peradilan, dan mengadili. Menu­rut R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio,[7]

“Pengadilan (rechtsbank, court) adalah badan yang melakukan peradilan, yaitu memeriksa dan memutusi sengketa-sengketa hukum dan pelanggaran-pelanggaran hukum/undang-undang. Peradilan (rechtspraak, judiciary) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara menegakkan hukum dan keadilan.”

Dengan demikian, berarti pengadilan itu menunjuk kepada pengertian organnya, sedangkan peradilan merupakan fungsinya. Namun, menurut Soedikno Mertokusumo, pada dasarnya, pera­dilan itu selalu berkaitan dengan pengadilan, dan pengadilan itu sendiri bukanlah semata-mata badan, tetapi juga terkait de­ngan pengertian yang abstrak, yaitu memberikan keadilan.[8]

Lain lagi Rochmat Soemitro yang berpendapat bahwa penga­dilan dan peradilan, juga berbeda dari badan pengadilan. Titik berat kata peradilan tertuju kepada prosesnya, pengadilan meni­tikberatkan caranya, sedangkan badan pengadilan tertuju kepada badan, dewan, hakim, atau instansi pemerintah.[9] Namun, me­nurut hasil penelitian mengenai pemakaian kata-kata pengadilan dan peradilan itu dalam praktik, ternyata kata pengadilan itu memang tertuju kepada badannya, sedangkan peradilan adalah prosesnya. Atas dasar itu, maka Sjachran Basan berpendapat bahwa penggunaan istilah pengadilan itu ditujukan kepada badan atau wadah yang memberikan peradilan, sedangkan pera­dilan menunjuk kepada proses untuk memberikan keadilan da­lam rangka menegakkan hukum atau het rechtspreken. Pengadilan selalu bertalian dengan peradilan, meskipun pengadilan bukanlah satu-satunya badan yang menyelenggarakan peradilan.[10]

Peradilan itu sendiri sebagai suatu proses harus terdiri atas unsur-unsur tertentu. Menurut pendapat Rochmat Soemitro, setelah menelaah berbagai pendapat dari Paul Scholten, Bellefroid, George Jellineck, dan Kranenburg, unsur-unsur peradilan itu terdiri atas empat anasir, yaitu : [11]

a.         Adanya aturar hukum yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan.

b.        Adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit

c.         Ada sekurang-kurangnya dua pihak

d.        Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.

Namun, menurut Sjachran Basan, unsur-unsur peradilan itu yang lebih lengkap mencakup pula adanya hukum formal dalam rangka penerapan hukum (rechtstoepassing) dan menemukan hu­kum (rechtsvinding) “in conreto” untuk menjamin ditaatinya hukum materiil yang disebut sebagai unsur (a) tersebut di atas. Atas dasar itu, maka oleh Sjachran Basan dikatakan bahwa,[12] “Peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas memutus perkara dengan menerapkan hukum, menemukan hukum in concreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaati­nya hukum materiil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.”

Proses peradilan tanpa hukum materiil akan lumpuh, tetapi sebaliknya tanpa hukum formal akan liar dan bertindak semau­nya, dan dapat mengarah kepada apa yang biasa ditakutkan orang sebagai judicial tyrany”.

Kekuasaan kehakiman adalah ciri pokok Negara Hukum (Rechtsstaat) dan prinsip the rule of law. Demokrasi mengutamakan the will of the people, Negara Hukum mengutamakan the rule of law. Banyak sarjana yang membahas kedua konsep itu, yakni demokrasi dan negara hukum dalam satu kontinum yang tak terpisahkan satu sama lain.[13] Namun keduanya perlu dibedakan dan dicerminkan dalam institusi yang terpisah satu sama lain.

Di Indonesia, kekuasaan kehakiman, sejak awal kcmerdekaan juga diniatkan sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dari lembaga-lembaga politik seperti MPR/DPR dan Presiden. Dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum perubahan, ditentukan:

“Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung de­ngan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.”[14]

Yang dimaksud pemerintah dalam penjelasan itu dapat dipa­hami dalam arti luas, yaitu mencakup pengertian cabang kekua­saan legislatif dan eksekutif sekaligus, mengingat UUD 1945 sebelum perubahan tidak menganut paham pemisahan kekua­saan, terutama antara fungsi eksekutif dan legislatif. Narnun, meskipun tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan, cabang kekuasaan kehakiman tetap dinyatakan bebas dan merdeka dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Karena itu, cabang kekuasaan kehakiman sejak semula memang diperlakukan khusus sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dan tersendiri. Inilah salah satu ciri penting prinsip negara hukum yang hendak dibangun berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Untuk semakin menegaskan prinsip negara hukum itu, sete­lah reformasi, ketentuan mengenai negara hukum itu ditegaskan lagi dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ditegaskan bahwa Indonesia adalah nega­ra hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penye­lenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam usaha untuk memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka itu, maka sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Ta­hun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Ke­hakiman dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Melalui perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut telah diletakkan kebijakan bahwa segala urusan menge­nai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan ini dengan istilah populer biasa disebut “kebijakan satu atap”. Kebijakan ini ditentukan sudah harus dilaksanakan paling lambat lima tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.[15] Dengan berlakunya Undang-Undang ini, pembi­naan badan peradilan umum, badan peradilan agama, badan per­adilan militer, dan badan peradilan Tata Usaha Negara berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mengingat sejarah per­kembangan peradilan agama yang spesifik dalam sistem pera­dilan nasional, pembinaan terhadap badan peradilan agama dila­kukan dengan memerhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia.

Setelah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004,[16] proses peralihan itu dipertegas lagi dalam Ketentuan Peralihan Pasal 42 Undang-Undang ini bahwa pengalihan organisasi, admi­nistrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan Tata Usaha Negara selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004. Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan agama selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004. Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan militer selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004. Penga­lihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimak­sud di atas ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Keputusan Presiden tersebut ditetapkan paling lambat: (a) 30 hari sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir; dan (b) 60 hari sebelum jangka waktu tersebut berakhir.

Selanjutnya ditentukan pula dalam Pasal 43 dan 44 bahwa sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial tersebut, maka: (a) semua pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Keha­kiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan Tata Usaha Negara, dan pengadilan tinggi Tata Usaha Negara, menjadi pegawai pada Mahkamah Agung; (b) semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tata Usaha Ne­gara, dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, tetap menduduki jabatannya dan tetap menerima tunjangan jabatan pada Mah­kamah Agung; (c) semua aset milik/barang inventaris di ling­kungan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi serta Pengadil­an Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Nega­ra beralih ke Mahkamah Agung.

Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial ter­sebut: (a) semua pegawai Direktorat Pembinaan Peraclilan Aga-ma Departemen Agama menjadi pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, serta pegawai pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama menjadi pegawai Mahkamah Agung; (b) semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menduduki jabatan pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan (c) semua aset milik/barang inventaris pada pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama beralih menjadi aset milik/barang inventaris Mahkamah Agung. Juga sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial tersebut: (a) pembinaan personel militer di lingkungan peradilan militer dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-­undangan yang mengatur personel militer; (b) semua Pegawai Negeri Sipil di lingkungan peradilan militer beralih menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Mahkamah Agung.

Perubahan-perubahan yang dilakukan tersebut di atas, se­jalan dengan semangat reformasi nasional yang berpuncak pada perubahan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam penye­lenggaraan negara Republik Indonesia. Perubahan Undang­-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mau fidak mau telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatane­garaan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan per­adilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji un­dang-undang terhadap Undang-Undang.Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya, diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus pem­bubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan pe­nyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga telah memperkenalkan suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan memiliki wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Dengan demikian, dalam sistem dan mekanisme penyelenggaraan kekuasaan kehakiman Republik Indonesia,[17] Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi dapat didampingi oleh Komisi Yudisial sebagai lembaga penunjang (auxiliary state commission) yang berfungsi sebagai perekrut hakim agung dan pengawas kode etik hakim.

Mengingat perubahan mendasar yang dilakukan dalam peru­musan materi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya yang berkenaan dengan penyelengaraan kekuasaan kehakiman, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Keha­kiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan perubahan secara komprehensif. Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan­badan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penye­lengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan per­lakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadjlan, bantuan hukum, dan badan­-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan keha­kiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.

Dalam undang-undang, kekuasaan kehakiman itu sendiri dirumuskan sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Kekuasaan Kehakiman yang merdeka tersebut mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya men­cerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan per­adilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, puncak sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia sekarang terdiri atas sebuah Mahkamah Agung dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Ketentuan ini tidak me­nutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase. Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.[18]

Menurut Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman ketentuan Pasal 4 ayat (1), peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa:

“Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk me­meluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ditentukan pula dalam ayat (2) bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam penjelasan dinyatakan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan. Pemeriksaan dan penyelesaian perkara bersifat "sederhana" da­lam arti dilakukan dengan prosedur acara yang efisien dan efektif serta biaya ringan. Yang dimaksud dengan “biaya ringan” itu adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat pencari keadilan (justice seekers, justitiabelen) dengan tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.

Dalam Pasal 4 ayat (3) dan (4) ditentukan bahwa:

“Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Sedangkan dalam ayat (4) ditentukan bahwa:

“Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana.”

Dalam penjelasan dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “dipidana” dalam rumusan ayat (4) di atas adalah bahwa unsur­unsur tindak pidana dan pidananya ditentukan dalam undang­-undang.

Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak mem­beda-bedakan orang. Pengadilan membantu pencari keadilan (justice seekers atau justisiabelen) dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.[19] Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain menurut apa yang diten­tukan oleh undang-undang. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa sese­orang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, pena­hanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah ter­tulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memper­oleh kekuatan hukum tetap. Setiap orang yang ditangkap, dita­han, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-un­dang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan reha­bilitasi.[20] Yang dimaksud dengan rehabilitasi di sini adalah pemulihan hak seseorang berdasarkan putusan pengadilan pada kedudukan semula yang menyangkut kehormatan, nama baik, atau hak-hak lain. Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud di atas dipidana. Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam Undang-Undang.[21]

Kekuasaan kehakiman itu sendiri merupakan pilar ketiga dalam sistem kekuasaan negara modern. Dalam bahasa Indonesia, fung­si kekuasaan yang ketiga ini seringkali disebut cabang keku­asaan yudikatif, dari istilah Belanda judicatief. Dalam bahasa Inggris, di samping istilah legislative dan executive, tidak dikenal istilah judicative, sehingga untuk pengertian yang sama biasanya dipakai istilah judicial, judiciary, atau judicature. Sedangkan yang biasa dianggap sebagai pilar keempat atau “the fourth estate of democracy” adalah pers bebas (free press) atau prinsip independence of the press. Karena itu, jika dalam pengertian fungsi negara (state functions), dikenal adanya istilah  trias politica, dalam sistem demokrasi secara lebih luas juga dikenal adanya istilah quadru politica”.

Dalam sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary ini merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri sebagai salah satu esensi kegiatan bernegara powers is particularly important for the judiciary.”[22] Bahkan, boleh jadi, karena Montesquieu sendiri adalah seorang hakim (Perancis), maka dalam bukunya, l'Esprit des Lois is memimpikan pentingnya pemisahan kekuasaan yang ekstrim antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan terutama kekuasaan yudisial. Dalam praktek di kemudian hari, impian Montesquieu ini tidak pemah terbukti, terutama dalam hubungan antara fungsi legislatif dan eksekutif. Namun, dalam konteks fungsi kekuasaan kehakiman, apa yang dimimpikannya itu justru menjadi pegangan universal di dunia seluruh dunia. Karena itu, sampai sekarang, prinsip the independence of judiciary menjadi salah satu ciri terpenting setiap negara hukum yang demokratis. Tidak ada negara yang dapat disebut negara demokrasi tanpa praktek kekuasaan kehakiman yang independen. Bahkan, oleh Mukti Arto dikatakan, kebera­daan lembaga pengadilan itu sangat penting karena tiga alasan, yaitu: (a) pengadilan merupakan pengawal konstitusi; (b) pengadilan bebas merupakan unsurnegara demokrasi;[23] dan (c) pengadilan merupakan akar negara hukum.[24]

Baik di negara-negara yang menganut tradisi civil law maupun common law, baik yang menganut sistem pemerintahan parle­menter maupun presidensil, lembaga kekuasaan kehakiman selalu bersifat tersendiri. Misalnya, di negara yang menganut sistem parlementer, terdapat percampuran antara fungsi legislatif dan eksekutif. Di Inggris, misalnya, untuk menjadi menteri seseorang justru disyaratkan harus berasal dari anggota parle­men. Parlemen dapat membubarkan kabinet melalui mekanisme “mosi tidak percaya”. Sebaliknya, pemerintah juga dapat membu­barkan parlemen dengan cara mempercepat pemilihan umum. Namun, meskipun demikian, cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary tetap bersifat independen dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnva.

Saking independennya, dalam tradisi Amerika Serikat dan di banyak negara lain, cabang kekuasaan kehakiman itu seeing kali mengesampingkan berlakunya (setting aside) sesuatu peraturan undang-undang yang ditetapkan oleh parlemen dalam memutuskan sesuatu perkara konkrit demi menegakkan keadilan dalam penyelesaian perkara yang bersangkutan.

Pemisahan kekuasaan juga terkait erat dengan independensi peradilan. Prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) itu menghendaki bahwa para hakim dapat bekerja secara inde­penden dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Bah­kan, dalam memahami dan menafsirkan undang-undang dasar dan undang-undang, hakim harus independen dari pendapat dan bahkan dari kehendak politik para perumusn undang-undang dasar dan undang-undang itu sendiri ketika perumusan dilaku­kan. Meskipun anggota parlemen dan presiden yang dipilih lang­sung oleh rakyat mencerminkan kedaulatan rakyat dalam me­nentukan kebijakan kenegaraan, tetapi kata akhir dalam me­mahami maksudnya tetap berada di tangan para hakim.

Lagi pula, sebagai buatan manusia, hukum dan peraturan perundang-undangan sering kali memang tidak sempurna. Terkadang, ada saja undang-undang yang agak kabur perumusan­nya sehingga membuka kemungkinan banyak penafsiran menge­nai pengertian-pengertian yang terkandung di dalamnya. Aki­batnya, undang-undang atau peraturan yang demikian itu menye­babkan terjadinya kebingungan dan ketidakpastian (rechtsonekerheid) yang luas. Karena itu, dibutuhkan hakim yang dapat menafsirkan kandungan norma yang terdapat di dalamnya secara tepat dan adil sehingga dapat dijadikan dasar untuk me­mutuskan persoalan yang timbal dengan putusan yang menjadi solusi terakhir. Untuk itulah, dibutuhkan hakim yang benar­benar kompeten, berintegritas, dan dapat dipercaya. Untuk me­menuhi kebutuhan itu, maka dibutuhkaa pengaturan yang tepat mengenai ripe manusia seperti apa yang seharusnya diangkat menjadi hakim.

Banyak sekali komentar dan pandangan negatif terhadap hakim mengenai sejauh mana hakim dapat bekerja dengan objektif, dan apakah tidak mungkin terjadi bahwa hakim yang dikonstruksikan sebagai manusia bebas dan tidak berpihak kecuali kepada kebenaran tidak akan “bias”. Apakah benar bahwa seorang hakim baik secara sadar ataupun tidak sadar tidak akan dipengaruhi oleh sikap prejudice[25] yang disebabkan oleh latar belakang sosial dan politik[26] kehidupannya sendiri dalam memutus setiap perkara yang untuk itu ia diharapkan bersikap objektif dan imparsial. Sikap “bias” itu terkadang dipengaruhi pula oleh cara hakim sendiri dalam memahami atau memandang kedudukan dan fungsinya.[27] Misalnya, dalam memutus sesuatu perkara, pasti ada yang pihak senang dan ada pihak tidak senang, termasuk dalam perkara yang bersangkutan dengan pertentangan antara negara dengan warga negara. Dalam hal demikian, apakah hakim akan tetap dapat bersikap netral atau akan merasa menjadi “hero” bagi rakyat dalam menghadapi negara.[28]

Dalam kegiatan bernegara, kedudukan hakim pada pokoknya bersifat sangat khusus. Dalam hubungan kepentingan yang bersifat triadik (triadic relation) antara negara (state), pasar (market), dan masyarakat madani (civil society), kedudukan hakim harus berada di tengah. Demikian pula dalam hubungan antara negara (state) dan warga negara (citizens), hakim juga harus berada di antara keduanya secara seimbang.[29] Jika negara dirugikan oleh warga negara, karena warga negara melanggar hukum negara, maka hakim harus memutuskan hal itu dengan adil. Jika warga negara dirugikan oleh keputusan-keputusan negara, baik melalui perkara Tata Usaha Negara maupun perkara pengujian pera­turan, hakim juga harus memutusnya dengan adil. Jika antar warga negara sendiri ataupun dengan lembaga-lembaga negara terlibat sengketa kepentingan perdata satu sama lain, maka ha­kim atas nama negara juga harus memutusnya dengan adilnya. Karena itu, hakim dan kekuasaan kehakiman memang harus ditempatkan sebagai cabang kekuasaan tersendiri.

Oleh sebab itu, salah satu ciri yang dianggap terpenting da­lam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaal)[30] ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak berpihak (independent and impartial). Apa pun sistem hukum yang dipakai dan sistem pemerintahan yang dianut, pelaksanaan “the principles of independence and impartiality of the judiciary” harus benar-benar dijamin di setiap negara demokrasi konstitusional (constitutional democracy).

Lembaga peradilan tumbuh dalam sejarah umat manusia dimulai dari bentuk dan sistemnya yang sederhana. Lama-lama bentuk dan sistem peradilan berkembang menjadi semakin kompleks dan modern. Karena itu, seperti dikemukakan oleh Djokosutono,[31] ada empat tahap sekaligus empat macam rechtspraak yang dikenal dalam sejarah, yaitu:

1)       Rechtspraak naar ongeschreven recht (hukum adat), yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti pengadilan adat.

2)       Rechtspraak naar precedenten, yaitu pengadilan yang didasarkan atas prinsip preseden atau putusan-putusan hakim yang terdahulu, seperti yang dipraktikkan di Inggris.

3)       Rechtspraak naar rechtsboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas kitab-kitab hukum, seperti dalam praktek dengan pengadilan agama (Islam) yang menggunakan kompendium atau kitab-kitab ulama ahlussunnah wal­jama'ah atau kitab-kitab ulama syi’ah, dan

4)       Rechtspraak naar wetboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan undang-undang ataupun kitab undang-undang. Pengadilan ini jutaan sarjana dengan pengertian yang boleh jadi berbeda-beda dan satu era ke era yang lain. Jika orang bertitik tolak dari konsep negara hukum (rechtsstaat), maka orang akan tiba pada pemberian kualifikasi kepada konsep rechtsstaat yang diidealkan, yaitu antara lain rechtsstaat yang demokratis (democratirche rechtsstaat). Sebab banyak negara hukum yang tidak demokratis, salah satu conttshnya adalah Jerman di bawah Hider. Jika orang bertitik tolak dari konsep democrat', maka kualifikasi dapat pula diberikan sesuai dengan penekanan yang hendak diberikan pada konsep ideal demokrasi itu, misalnya, participatory democracy, pluralistic democrat', constitutional democracy, dan sebagainya. Merupakan penjelmaan dari paham hukum positif atau moderne wetgeving yang mengutamakan peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis (schreven wetgeving).

 

Pengadilan adalah lembaga kehakiman yang menjamin tegaknya keadilan melalui penerapan undang-undang dan kitab undang­undang (wet en wetboeken) dimaksud. Strukturnya dapat bertingkat-tingkat sesuai dengan sifat perkara dan bidang hukum yang terkait. Ada perkara yang cukup diselesaikan melalui peradilan pertama dan sekaligus terakhir, ada pula perkara yang diselesaikan dalam dua tingkat, dan ada pula perkara yang diselesaikan dalam tiga tahap, yaitu tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi. Selain itu, seperti pembagian menurut van Vollenhoven, “justitierecht” atauthe law of the administrasion of

Justice” sendiri terbagi lagi menjadi empat, yaitu:

1)      Staatsrechtelijke Rechtspleging (peradilan tata negara)

2)      Privaatsrechttelijke Rechtspleging (peradilan perdata)

3)      Strafsrechtelijke Rechtspleging (peradilan pidana), dan

4)      Administratiefrechtelijke Rechtspleging (peradilan tata usaha negara).

Di samping itu, dalam sistem peradilan di Indonesia dewasa ini, terdapat empat lingkungan peradilan, yang masing-masing me­munyai lembaga pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Pada tingkat kasasi, semuanya berpuncak pada Mahkamah Agung (MA). Pengadilan tingkat pertama dan kedua dalam keempat lingkungan peradilan tersebut adalah:

1.        Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) dalam lingkungan peradilan umum[32]

2.        Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dalam lingkungan peradilan agama[33]

3.        Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam lingkungan peradilan tata usaha negara,[34] dan

4.        Pengadilan Militer (PM) dan Pengadilan Tinggi Militer dalam lingkungan peradilan militer.[35]

Di samping itu, dewasa ini, dikenal pula adanya sembilan bentuk pengadilan khusus, baik yang bersifat tetap ataupun ad hoc, yaitu:

(i)                  Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM)[36]

(ii)                Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)[37]

(iii)               Pengadilan Niaga[38]

(iv)              Pengadilan Perikanan[39]

(v)                Pengadilan Hubungan Kerja Industrial[40]

(vi)              Pengadilan Pajak[41]

(vii)             Pengadilan Anak[42]

(viii)           Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam[43]

(ix)              Mahkamah Pelayaran

(x)                Pengadilan Adat di Papua

(xi)              Pengadilan Tilang.

 

Pengadilan HAM, Pengadilan Tipikor, Pengadilan Niaga, dan Pengadilan Perikanan, termasuk ke dalam lingkungan peradilan umum, sedangkan yang lainnya, seperti Pengadilan Pajak dan Pengadilan Hubungan Kerja Industrial dapat digolongkan terma­suk lingkungan peradilan Tata Usaha Negara. Mahkamah Syari'ah di Aceh termasuk ke dalam dua lingkungan sekaligus, yaitu lingkungan peradilan umum untuk hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan peradilan umum, dan termasuk juga ling­kungan peradilan agama untuk hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan peradilan agama. Menurut ketentuan Pasal 15, pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu ling­kungan peradilan yang diatur dengan undang-undang. Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupa­kan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepan­jang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pcngadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.

Banyaknya dibentuk berbagai pengadilan yang bersifat khusus ataupun yang bersifat ad hoc ini memang perlu disoroti secara tersendiri. Kreatifitas yang tumbuh di berbagai sektor pemerintahan untuk membentuk lembaga-lembaga, komisi­komisi, dan badan-badan baru dapat dinilai baik-baik saja sekira­nya hal itu benar-benar didasarkan atas pertimbangan yang sangat matang dari semua aspeknya. Namun, sering kali kreatifitas ini dikembangkan tidak berdasarkan atas pengkajian yang ma-tang dan mendalam. Akibatnya, pembentukan lembaga-lembaga dan termasuk pengadilan-pengadilan khusus dan yang bersifat ad hoc ini menimbulkan masalah tersendiri, seperti ketidak­siapan aparatur dan aparat yang tersedia serta menyebabkan terjadinya redundancydan ineficiengyang bersifat high cost”.

Sebagai contoh, berdasarkan ketentuan Pasal 71 Undang­Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, maka untuk pertama kali telah dibentuk beberapa pengadilan perikanan, yaitu di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Namun, karena alasan ketidaksiapan aparat dan aparatur serta kesulitan-kesulitan dalam koordinasi antar­instansi dan ketidakharmonisan antar peraturan yang terkait, pelaksanaan togas dan fungsi pengadilan-pengadilan perikanan tersebut ditangguhkan oleh pemerintah paling lambat sampai tanggal 6 Oktober 2007. Penangguhan dimaksud dilakukan oleh presidcn dengan menetapkan Perpu Nomor 2 Tahun 2006 tentang Penangguhan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Pengadilan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5) Un­dang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.[44] Kasus penangguhan pelaksanaan Undang-Undang ini jelas meru­pakan bukti mengenai tidak siapnya aparat dan aparatur untuk melaksanakan ketentuan Pasal 71 ayat (5) Undang-Undang No­mor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.[45] Pertanyaan yang da­pat diajukan di balik ini adalah, mengapa dulu di tahun 2004, presiden justru mengesahkan Undang-Undang ini, jika ternyata kemudian diketahui bahwa dalam pelaksanaannya kita belum siap?

               Di samping pengadilan perikanan itu, ada pula Mahkamah Pelayaran dan bahkan ada lagi Pengadilan Adat yang juga memi­liki kekhususan. Pengadilan Adat diatur dan diperkenalkan kern­bali oleh Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Juga, ada badan-badan quasi-pengadilan yang berbentuk komisi yang bersifat ad hoc. Misalnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Banding Mereka, dan sebagainya. Semua lembaga peradilan atau semi atau quasi peradilan itu memiliki kedudukan khusus dalam sistem hukum Indonesia. Fungsinya adalah untuk menjamin agar hukum dan keadilan dapat ditegakkan dan diwujudkan dengan sebaik‑baiknya.

 

B.   Fungsi Kekuasaan Kehakiman di Negara Hukum Republik In­donesia

Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974, istilah fungsi berarti adalah sekelompok pekerjaan, kegiatan, dan usaha yang satu sama lainnya ada hubungan erat untuk melaksanakan suatu tugas pokok.[46] Dari sudut bahasa, fungsi (Belanda = functie, Inggris = function) berarti jabatan, atau kerja,[47] sedangkan menurut Logeman, fungsi itu adalah suatu lingkungan kerja tertentu dalam hubungan keseluruhan. Selanjutnya beliau mengemukakan, dalam bidang hukum positif, fungsi dalam organisasi negara disebut jabatan negara c.q. merupakan stenografis secara yuridis, sejauh personifikasi itu dapat dipikirkan terletak dalam wewenang dan kewajiban orang-orang yang memenuhi kecakapan tertentu, digandengkan pada suatu penyerahan kedudukan menurut kaidah sendiri yang tertentu.[48]

Miriam Budiarjo[49] menyatakan apabila memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai organisasi kekuasaan maka UUD dapat dianggap sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi antara lembaga kenegaraan, misalnya kepada legislatif, eksekutif, dan yudikatif; UUD menentukan cara-cara bagaimana pusat kekuasaan bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain, serta merekam hubungan­hubungan kekuasaan dalam suatu negara. Selanjutnya menurut Beliau, di negara-negara demokrasi konstitusional, UUD mempunyai fungsi dalam membatasi kekuasaan pemerintah sehingga penyelenggaraan kekuasaan negara tidak bersifat sewenang-wenang.

Menurut Muhammad Shiddiq Tgk. Armia[50] dalam perspektif horizontal gagasan demokrasi konstitusional mengandung empat prinsip pokok yang dilembagakan dengan menambahkan prinsip­-prinsip negara hukum menjadi, yaitu :

a.         Adanya jam inan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama.

b.        Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau pluralitas.

c.         Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama.

d.        Dalam sistem kekuasaan negara ada mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan aturan yang disepakati bersama.

e.         Pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia.

f.          Pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan atau pembagian kekuasaan yang disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antarlembaga negara baik secara vertikal maupun horizontal.

g.         Adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak dengan kewibawaan putusan yang tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran.

h.         Dibentuknya peradilan yang khusus untuk menjamin keadilan bagi warga negara yang dirugikan akibat keputusan atau kebijakan pemerintahan (pejabat administrasi negara).

i.           Adanya mekanisme judicial review.

j.          Jaminan pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

k.        Pengakuan terhadap asas legalitas dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara.

 

Konsepsi negara hukum telah diterima dan dimuat dalam rumusan Pasal 1 Ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945. Sebelumnya rumusan negara hukum hanya disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945 (telah dihapus) dengan istilah rechtstaat yang diperlawankan dengan machstaat (negara kekuasaan) yang terang-terangan ditolak oleh perumus UUD.[51] Menurut Muhammad Tahir Azhary[52] istilah rechstaat pada penjelasan UUD 1945 adalah sebagai genus begrip dan sebagai species begrip-nya adalah Negara Hukum Pancasila, dengan ciri-ciri; (i) ada hubungan yang erat antara agama dan negara, (ii) bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, (iii) kebebasan beragama dalam arti positif, (iv) atheisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang, serta (v) asas kekeluargaan dan kerukunan; sedangkan unsur­unsur pokok Negara Hukum Republik Indonesia menurut Beliau adalah; (i) Pancasila, (ii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (iii) sistem konstitusi, (iv) persamaan, dan (v) peradilan bebas. Konsekuensi logis dari prinsip negara hukum yang dianut oleh Negara Republik Indo­nesia adalah adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan terbebas dari berbagai pengaruh pihak manapun dalam menye­lenggarakan peradilan yang menjadi kompetensinya.

Sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 rumusan tentang kekuasaan kehakiman yang merdeka hanya ditemukan pengaturannya dalam Penjelasan Pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan, kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, dan karenanya harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang Kedudukan Para Hakim.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 2 undang-undang tersebut, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

Kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, berarti bebas dan lepas dan campur tangan pemerintah atau badan negara yang lain atau dari pihak manapun yang akan mempengaruhi penyelenggaraan tugas serta kewenangannya, barulah dinyatakan secara tegas pada Perubahan Ketiga UUD 1945, yakni ketentuan Pasal 24 Ayat (1) yang menentukan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mengenai hal ini secara eksplisit telah diamanatkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 - 2004, khususnya BAB IV C Arah Kebijakan Politik angka 1 huruf c menyatakan, meningkatkan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya dengan menegaskan fungsi, wewenang, dan tanggung jawab yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Demikian pula dalam konsiderans (menimbang) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasan Kehakiman, menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri dan terlepas dari kekuasaan pemerintah, maka dipandang perlu melaksanakan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif. Bahkan, meskipun diadakan pergantian undang-undang yang mengatur kekuasaan kehakiman tersebut, rumusan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tidak mengalami perubahan sedikit pun dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahu'n 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999.

Berdasarkan Pasal 24 Ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945, maka yang diberi wewenang oleh UUD 1945 untuk melakukan kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan di bawahnya, dan oleh Mahkamah Konstitusi. Badan-badan peradilan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman mengemban tugas pokok, yakni melaksanakan public service di bidang pemberian keadilan.[53] Dalam melakukan peradilan, pengadilan mengadili berdasarkan hukum yang berlaku, meliputi hukum yang tertulis dan tidak tertulis. Peradilan merupakan suatu proses persidangan yang diselenggarakan oleh badan-badan pengadilan dalam rangka menyelesaikan sengketa atau permasalahan hukum dengan menerapkan hukum yang tepat, dan bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Dalam hal ini maka pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa clan mengadili suatu perkara dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib untuk rnemeriksa clan mengadilinya (vide Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004) karena hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum.[54] Hal ini selaras dengan suatu ungkapan hukum yang menyatakan bahwa hakim dianggap tahu hukumnya, dan dengan demikian berarti dimaksudkan untuk memberikan jaminan hukum dari negara. Oleh karena itu, menurut K. Wantjik Saleh[55] bilamana terjadi suatu pelanggaran hukum, baik berupa perkosaan hak seseorang maupun kepentingan umum, maka terhadap pelanggarnya tidak dibenarkan diambil suatu tindakan untuk menghakiminya oleh sembarang orang (eigentrichting), melainkan melalui suatu proses yang tidak hanya cukup dengan pencegahan, tetapi juga memerlukan suatu perlindungan clan penyelesaiannya c.q negara mefalui kekuasaannya menyerahkan kepada kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan dengan pelaksananya yaltu hakim.

Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.[56] Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara   ……..[57] Menurut A. Ridwan Halim[58] fungsionaris pengadilan sebagai penyelenggara atau pelaksana fungsi peradilan memiliki misi utama dalam mengupayakan serta menjamin agar peradilan dapat mencapai serta mencerminkan:

  1. Keadilan c.q merupakan keserasian dari, (i) kepastian hukum dan kesebandingan hukum atau kesetaraan hukum, (ii) proteksi/ perlindungan hukum, dan restriksi atau pembatasan hukum, dan (iii) penggunaan hak clan pelaksanaan kewajiban.
  2. Kewibawaan hukum yang merupakan keserasian antara keketatan hukum dan keluwesan hukum.
  3. Perkembangan hukum c.q merupakan keserasian antara modernisasi/ pembaruan hukum dan restorasi/ pemugaran hukum.
  4. Efisiensi dan efektivitas hukum c.q. merupakan keserasian antara unifikasi hukum clan diferensiasi/pluralisme hukum.
  5. Kesejahteraan masyarakat yang merupakan keserasian antara kebendaan dan keakhlakan.

 

Hakim sebagai fungsionaris pengadilan, dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara atau perselisihan hukum dengan setepat-tepatnya maka terlebih dahulu harus mengetahui secara objektif tentang duduk perkara yang sebenarnya yaitu sebagai dasar dalam memberikan putusan.[59] Dengan demikian, hakim sebelum memberikan putusan terhadap permasalahan atau persel isihan hukum di antara para pihak, maka hakim melakukan serangkaian pemeriksaan, karena putusan atau vonis terhadap suatu perkara atau perselisihan hukum adalah sebagai pen utup atau pengakhirdari pemeriksaan yang telah dilakukan oleh pengadilan atau hakim.[60] Putusan pengadilan itu selain harus memuat alasan dan dasar dari putusan, harus memuat pula pasal-pasal tertentu dan peraturan­peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.[61]

Menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo[62] hakim dalam memeriksa suatu perkara lebih mementingkan fakta atau peristiwanya, dan bukan hukumnya karena peraturan hukum adalah alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah kebenaran peristiwa atau faktanya. Artinya, untuk menemukan atau membuktikan kebenaran peristiwa atau faktanya, hakim melakukan pengujian atau penilaian terhadap, dan mengenai keabsahan alat-alat bukti yang terungkap atau ternyatakan di hadapan persidangan pengadilan. Dalam hal ini Andi Hamzah menyebutkan adanya penilaian atau pengujian terhadap alat­alat bukti, dan untuk menilai atau menguji kekuatan pembuktian alat­alat bukti yang ada, dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu:

  1. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk beweijstheorie atau formele beweijstheorie), yang berarti jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.
  2. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu (conviction intime), yang berarti pembuktian hanya berlandaskan kepada atau semata-mata menurut keyakinan hakim.
  3. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (La conviction raisonnee atau vrije beweijstheorie). Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan, yaitu (i) pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonnee), dan (ii) pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk beweijstheorie). Persamaannya ialah keduanya berdasarkan keyakinan hakim. Perbedaannya terletak pada pangkal tolaknya; yang tersebut pertama titik tekannya pada keyakinan hakim, dan yang tersebut kedua pangkal tolaknya pada ketentuan undang­-undang.[63]

Meninjau hukum positif di Negara Republik Indonesia, ternyata sistem atau teori pembuktiannya mengikuti teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis.[64] Selanjutnya, menurut ketentuan undang-undang yang berlaku di Negara Republik Indonesia, putusan hakim atau pengadilan dinyatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidangterbuka untuk umum.[65] Adapun asas-asas pentingdalam menyelenggarakan peradilan di Indonesia antara lainnya, sebagai berikut:[66]

  1. Asas persamaan di hadapan hukum atau Equality before the law. Asas ini merupakan asas umum yang dianut oleh negara-negara berdasarkan hukum. Ketentuan Pasal 1 Ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi logis dari ketentuan ini maka setiap warga negara Indonesia harus diperlakukan sama di hadapan hukum (pengadilan) dan pemerintahan. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 27 jo Pasal 28D Ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945. Asas ini jugaterdapatdalam muatan sumpah/janji jabatan para fungsionaris hukum atau pengadilan.
  2. Asas sidang terbuka untuk umum. Pada intinya, ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 rnenentukan bahwa sidang pengadilan adalah terbuka untuk umum dan mempunyai kekuatan hukum bila diucapkan dalam sidang terbuka umum.
  3. Asas peradilan diselenggarakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, serta bebas, adil dan tidak memihak. Asas ini berarti bahwa di dalam menyelenggarakan peradilan, negara melalui aparaturpenegak hukum mengakui 5erta menjamin perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Sebagai wujud konkret dari pengakuan tersebut maka asas ini termasuk substansi pokok yang menjadi bagian dari muatan sumpah/janji jabatan para fungsionaris hukum atau pengadilan.
  4. Asas kepentingan urnum. Asas ini pada intinya menegaskan bahwa pengadilan c.q. ketua pengadilan berwenang menetapkan perkara-perkara yang menyang-kut kepentingan umum untuk segera diperiksa terlebih dahulu.
  5. Asas praduga tak bersalah atau presUmption of innocent. Melalui asas ini berarti setiaporangwajibdianggaptidak bersalah sampai adanya putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap. Asas ini terkait erat dengan asas Nulla poena sine culpa (tidak ada pidana tanpa kesalahan) yang berarti perbuatan seseorang harus dapatdipertanggungjawabkan. Asas ini dapatditemukan pada Pasal 28 D Ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945 dan Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
  6. Asas legalitas atau kepastian hukum. Asas ini sebenarnya terkait erat dengan ajaran Legisme yang memandang peraturan tertulis (undang-undang) sebagai satu-satunya sumber hukum. Adapun tujuan yang dikehendaki asas ini adalah tercapainya kepastian hukum yang dapat dimengerti oleh setiap orang dan menjamin kepentingan pribadi dari kemungkinan kesewenang-wenangan hakim, yakni melalui pembatasan yang diatur dalam undang­undang. Asas MI dapat ditemukarl pada Pasal 28 I Ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945. Di samping itu, asas ini juga termuat dalam sumpah/janji jabatan para fungsionaris hukum atau pengadilan.
  7. Asas kebebasan hakim. Asas ini merupakan penjabaran dari salah satu prinsip negara hukum yang mengharuskan adanya kekuasaan kehakiman (peradilan) yang merdeka dan bebas dari tekanan atau pengaruh pihak mana pun jaminan atas kebebasan hakim ini mendapat pengaturan dalam hukum dasar negara, yaitu pada ketentuan Pasal 24 UUD 1945.
  8. Asas Ne bis in idem yang berarti tidak ada pengadilan terhadap orang yang sama dan perkara yang sama apabila sudah ada putusan hakim terhadap hal itu. Rum usan mengenai asas ini dapat ditemukan misalnya pada Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi.

 

 

BAB  IV

P E N U TU P

A.  Kesimpulan

1.    Kekuasaan Kehakiman menurut konstitusi adalah mewujudkan curta-cita kemerdekaan Republik Indonesia yaitu : Terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur melalui jalur hukum. Reformasi di bidang kekuasaan kehakiman ditujuhkan untuk pertama ; menjadikan kekuasaan kehakiman sebagai sebuah institusi yang independen, kedua; mengembalikan fungsi yang hakiki dari kekuasaan kehakiman,untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum, ketiga; menjalankan fungsi check and balances bagi institusi kenegaraan lainnya, keempat; mendoromg dan memfasilitasi serta menegakkan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis guna mewujudkan kedaulatan rakyat dan kelima ; melindungi martabat kemanusiaan dalam bentuk yang paling kongkrit.

2.    Kekuasaan Kehakiman dalam konteks negara indonesia adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menekkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggarannya negara repubik Indonesia. Salah satu agenda penting yang perlu  di hadapi di masa depan penegakan hukum di Indonesia, dan hal utama dalam penegakan hukum adalah masalah kekuasaan kehakiman yang merdeka.

3.    Berdasarkan Pasal 24 Ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945, maka yang diberi wewenang oleh UUD 1945 untuk melakukan kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan di bawahnya, dan oleh Mahkamah Konstitusi. Badan-badan peradilan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman mengemban tugas pokok, yakni melaksanakan public service di bidang pemberian keadilan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

A. Mukti Artikel Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2001, hal 20

Bambang Sunggono,Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakrta,1997.

Bambang Sutiyoso dan Sri Puspitasai, Aspek-aspek Pengembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press,Yogyakarta,2005

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1991

Beny K. Harman, Konfugurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, ELSAM, Jakarta,1997.

Djokosutono, Kuliah di himpun oleh Harun Al Rasid,Ghalia Indonesia,Jakarta,1982

Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi,BIP, Gramedia, Jakarta

Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, LP3ES, Jakarta 2002

Muchin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka, dari kolonial ke hukum nasional,Suatu kajian tentang perkembangan Sosial Politik, jakarta, Grasindo,1994.

-------------- Makalah dengan judul Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan UUD 1945 yang disampaikan sebagai bahan kuliah di program Doktor Ilmu Hukum, Untag Surabaya Tahun 2009.

R. Subekti dan R. Titiosoedibio, kamus Hukum, Pradnya Pramita, Jakarta, 1997 hal 82-83

Soetandyo, Suatu kajian tentang Perkembangan Sosial Politik, Jakarta ,Grasindo,1994

Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan Perundang-Undangan Indonesia, Kilat maju Bandung,1971,hlm 2

Syachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia,Alumni bandung, cetakan ketiga, 1997, hal 23

Yahya Harahap, Kedudukan kewenangan dan Acara peradilan Agama dan UU No 7 Tahun 1989, Astra Granfindo, Jakarta, 2007

Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen)

Undang- Undang No 35 Tahun 1999, Perubahan atas UU No 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuaan Pokok-pokok kekuasaan kehakiman.

Undang-Undang No 32 Tahun 2003 Tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD, BPK, Lembaga Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

 



 

[1] Dosen Fakultas HukumUniversitas Palembang

NIDN : 0213037201, Email   : evie_pw@yahoo.com

 

 

 

 

[2] Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia (Jakarta: Yayasan LBHI, 1998).

[3] Bambang Sutiyoso & Sri Puspitasari, Aspek-Aspek Pengembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia,UII Press,Yogyakarta,2005,hal.23.

[4] Koesnoe Moch, Konfigurasi Politik Dan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, ELSAM, Jakarta, 1997, hal 9

[5] Bambang Sutiyoso & Sri Hastuti,op.cit.hal.25

[6] Ibid

[7]     R. Subekti dan R. Tjitcosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1971, hlm. 82-83.

[8]     SudiknoMertokosumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatan Bagi Kita Bangsa Indonesia, (disertai), Kilat Maju Bandung, 1971 hlm.2

[9]     Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, cetakan ketiga, 1997, hlm.23

[10]    Ibid., hlm. 24

[11]    Rochmat Soemitro, Masalah Peradilan Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia, (disertasi), Eresco, Bandung, 1976, hlm. 7-8.

[12]    Sjachran Basah, Op.Cit hlm. 29.

[13]    Lihat Jose Maria Maravall and Adam Przeworski (eds.), Democracy and the Rule of Law, Cambridge University Press, 2003; baca misalnya tulisan John Ferejohn and Pasquale Pasquino, Rule of Democracy and Rule of Law dalam Ibid. hlm. 242-260

[14]    Lihat Berita Repoeblik, Tahun II No. 7, edisi 15 Februari, 1946.

[15]    Kebijakan ini sudah harus dilaksanakan paling lambat lima tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. LN-RI Tahun 1999 Nomor 147, TLN-RI Nomor 3879.

[16]    LN-RI Tahun 2004 Nomor 8, YLN-TI Nomor 4358.

[17]    Sistem penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang dirnaksud disini adalah sistem peradilan biasa, yaitu tidak termasuk sistem peradilan konstitusi (constitutional adjudication) yang diselenggarakan oleh lembaga tersendiri yang bernama Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

[18]    Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2).

[19]    Pasal 5 ayat (2).

[20]    Pasal 9 ayat (1).

[21]    Lihat Pasal 4 sampai dengan Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. LN-RI Tahun 2004 Nomor 8, TLN-RI Nomor 4358.

[22]    John Alder and Peter English, Constitutional and Administrative Law, Macmillan, London, 1989, hlm. 267

[23]    Mahfud M.D. menggunakan istilah ciri .negara demokrasi dan negara hukum. Lihat Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2002, him. 92. Menurutnya, "Salah satu ciri dan prinsip pokok dari negara demokrasi dan negara hukum adalah adanya lembaga peradilan yang bebas dari kekuasaan lain dan tidak memihak." Di sini dipakai istilah "lembaga peradilan yang bebas", yang mungkin maksudnya mencakup juga pengertian kebebasan hakim dalam menjalankan tugas peradilan.

[24]    A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 20.

[25]    Lihat juga Robert G.McCloskey, Op.Cit., hlm. 12.

[26]    Lihat, misalnya, Griffith, The Politics of the Judiciary, 1985.

[27]    Lihat, misalnya, Lord Hailsham, The Dilemma of Democracy, 1978.

[28]    Tulisan-tulisan yang hernada pemhelaan terhadap hakim dan kekuasaan kehakiman yang penting dibaca dan berpengaruh luas, antara lain, Alexander Bickel, The Least Dangerous Branch (1962), dan John Hart Ely, Democracy and Distrust (1980), Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (1978), Law's Empire (1986), Freedom's Liu, (1996).

[29]     Asshiddiqie, The Role of Constitutional Court in Guaranteeing Access to Justice in a New Transitional State, Keynote Address at the Conference of Comparing Access to Justice in Asian and European Transitional Countries, Bogor, Indonesia, 27-28 Juni 2005.

[30]    Prof. Djokosutono, sebagaimana sering dikutip oleh beberapa muridnya seperti Sutjipno, menolak istilah "democratische rechtsstaat" ini dan menganggapnya sebagai istilah yang salah kaprah. Yang benar menurutnya adalah negara demokrasi yang berdasar atas hukum, bukan sebaliknya. Namun, pandangan ini jelas mengabaikan kenyataan bahwa istilah ini biasa dipakai oleh ribuan sarjana sejak dulu sampai sekarang, seperti halnya istilah democracy telah dipakai oleh

[31]    Djokosutono, kuliah dihimpun oleh Harun Al Rasid pada tahun 1959, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 117.

[32]    Lihat Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umuth, LN-RI Tahun 2004 Nomor 34, TLN-Ri Nomor 4379.

[33]    Lihat Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, LN-RI Tahun 2006 Nomor 22, TLN-RI Nomor 4611.

[34]    Lihat Undang-Undang No, 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang‑ Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, LN-RI Tahun 2004 Nomor 35, TLN-RI Nomor 4380.

[35]    Lihat Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, LN-R1 Tahun 1997 Nomor 84, TLN-RI Nomor 3713.

[36]    Lihat Undang-Undang No, 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. LN Tahun 2000 No. 208, TLN No. 4026.

[37]    Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. LN-RI Tahun 2002 Nomor 137, TLN-RI Nomor 4250.

[38]    Lihat Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 (LN-RI Tahun 1999 Nomor 135 dan TLN-RI Nomor 3778), dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998.

[39]    Pengadilan Perikanan ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (LN-RI Tahun 2004 Nomor 11, TLN-RI Nomor 4433).

[40]    Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. LN-RI Tahun 2004 Nomor 6, TLN Nomor 4356.

[41]    Undang-Undang No. 14 Tabun 2002 tentang Pengadilan Pa5ak. LN-RI Tahun 2002 Nomor 27, LN-RI Nomor 4189.

[42]    Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. LNRI Tahun 1997 Nomor 3, TLN-RI Nomor 3668.

[43]    Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2002 tentang Mahkamah Syar'iyah dan Mahkamah Syar'iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

[44]    LN-RI Talmo 2006 Nomor 69, TLN-RI Nomor 4638.

[45]    Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2006 ini juga penting karma berisi norma hukum yang menangguhkan berlakunya atau menangguhkan pelaksanaan suatu undang-undang tidak dengan undang-undang, melainkan cukup dengan instrumen Perpu. Kasus ini menambah lagi alasan pembenaran digunakannya instrumen Perpu oleh presiden, apabila timbul keadaan yang memaksa presiden melanggar ketentuan undang-undang yang berlaku. Contoh kasus lain adalah Perpu yang memberikan pembenaran kepada KPU untuk menyimpang dari ketentuan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum pada pelaksanaan Pemilu 2004 yang lalu.

[46]    Padmo Wahyono, Kamus Tata Hukurn Indonesia Qakarta: Ind Hill-Co, 1987), hlm. 67.

[47]    Djalinus Sjah, Azimar Enong, Serie 555: Kamus Umum Lengkap Internasional Populer (jakarta: Simplex Publishing Company, 1983), hlm. 160.

[48]    J.H.A. Logeman, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif (judul ash: Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht) Diterjemah oleh Makkatutu dan J.C.Pengkerego Qakarta: Ichtiar Baru-van Houve, 1975), hlm. 104.

[49]    Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 96.

[50]    Muhammad Shiddiq Tgk Armia, Perkembangan Pemikiran dalam llmu Hukum Uakarta: Pradnya Paramita, 2003), hlm. 40-41.

[51]    Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), h1m. 3.

[52]    M. Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini Qakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 68-72

[53]    Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari: Upaya Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), hlm. xxxvii-xxxviii

[54]    Bandingkan dengan Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, dan penjelasannya.

[55]    K. Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan, (Jakarta:Sumber Cahaya, 1976), hlm. 97-99.

[56]    Lihat Pasal 1 angka 8 KUHAP

[57]    Lihat Pasal 1 angka 9 KUHAP

[58] A. Ridwan Halim, Pokok-Pokok Peradilan Umum di Indonesia dalam Tanya Jawab (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), hlm. 5-6.

[59]    Sudikno Mertokusumo, A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Kerja Sama antara Konsoriurn llmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan The Asia Foundation (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 32-34.

[60]    Henry P. Panggabean, op.cit., hlm. 82

[61]    Perhatikan Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.

[62]    Sudikno Mertokusumo, op. cit., hlm. 32.

[63]    Andi Hamzah, Hukurn Acara Pidana Indonesia Oakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hlm. 257-265.

[64]    Periksa Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Pasal 183 KUHAP jo Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Pasal 10 Pasal 12 Undang­Undang Nomor 26 Tahun 2000 jo Pasal 45 jo Pasal 48 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.

[65]    Periksa Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Pasal 195 KUHAP jo Pasal 108 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Pasal 60 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.

[66]    Didit Hariadi Estiko dan Suhartono (ED), Mahkamah Konstitusi: Lembaga Negara Baru Pengawal Konstitusi (Jakarta: P31 Sekretariat Jenderal DPR RI, Agarino Abadi, 2003), hlm. 52-53. Lihat pula Andi Hamzah, op.cit., hlm. 10-24, dan A. Ridwan Halim, Pengantar Tata Hukum Indonesia dalam Tanya Jawab (Jakarta: Ghalia In­donesia, 1985), him. 139.

0 comments:

Post a Comment