Wednesday 9 October 2013

HAK-HAK PEREMPUAN DI BIDANG POLITIK DAN PEMERINTAHAN

Oleh :

Evi Purnama Wati, SH.MH

 

 

            Hak asasi manusia merupakan isu  yang pesat berkembang pada akhir abad 20 dan permulaan abad ke-21 ini, baik secara nasional maupun secara internasional. Hak asasi manusia telah menjadi salah satu topik besar yang dibahas dari waktu ke waktu di lembaga dunia, yakni Perserikatan Bangsa-Bangsa. Oleh karena hak asasi manusia telah menjadi milik bersama dan tanggung jawab bersama semua masyarakat dunia yang tergabung dalam PBB sejak dikeluarkannya Universal Declaration of Human Rights tahun 1948. Semakin merasuk ke dalam tubuh Negara-negara anggota PBB.[1]

            Membicarakan tentang hak asasi manusia, dapat ditelusuri secara historis perkembangan konsep-konsep itu di Negara barat, dengan pengertian bahwa pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia tidak hanya terdapat dalam masyarakat dan Negara, akan tetapi fakta sejarah menunjukkan kepada kita bahwa yang memulai permasalahan hak-hak asasi manusia adalah pemikiran-pemikiran barat. Meskipun demikian dalam kenyataannya sebelum di deklarasikan apa yang disebut dengan Declaration of Human Rights oleh Negara Barat pada tahun 1948 Indonesia telah terlebih dahulu menjunjung tinggi hak asasi tersebut.

            Bukti konkrit yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tentang pengakuan hak asasi manusia adalah dalam pernyataan “Bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”.  Pernyataan tersebut secara gamblang telah mengisyaratkan bahwa hak asasi manusia itu sangat dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia.

            Terlepas dari itu dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa, segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerntahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.[2] Ini menjelaskan bahwa tidak adanya diskriminasi dalam hukum dan pemerintahan yang ada di Indonesia, tidak terkecuali laki-laki dan perempuan, suku-suku, agama, adat istiadat maupun ras akan tetapi porsi bagi setiap warga Negara dalam hukum dan pemerintahan adalah sama.

            Hal ini diperjelas lagi dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 (amandemen II), setiap warga Negara memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Ini menunjukkan bagi warga Negara apakah laki-laki ataupun perempuan tetap mempunyai kesempatan yang sama dalam hal pemerintahan.

            Dalam era reformasi sekarang ini keterlibatan perempuan dalam hal pemerintahan sudah sangat mewarnai Negara Indonesia, hal ini terbukti dengan Negara Indonesia sudah pernah dipimpin oleh seorang wanita yakni Megawati Soekarno Putri sebagai Kepala Negara yang sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan.

            Apabila kita kembali ke sejarah jauh sebelum perempuan-perempuan yang sekarang berjuang dalam pembangunan bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu lahir putra-putri bangsa yang memiliki keperdulian terhadap bangsa melalui perjuangannya, seperti dapat kita lihat bagaimana perjuangan Cut Nyak Dien di Banda Aceh yang berusaha untuk mengusir penjajah kala itu, yang menunjukkan eksistensi perempuan yang tidak dapat dipandang sebelah mata.

            Namun untuk zaman modern seperti ini perjuangan perempuan sudah mengarah pada usaha ikut serta dalam pembangunan Indonesia, hak-hak inilah yang dimaksudkan dengan hak-hak asasi aktif atau demoratis, adapun dasar hak-hak ini adalah keyakinan akan kedaulatan rakyat yang menuntut agar rakyat memerintahi dirinya sendiri dan setiap pemerintah berada di bawah kekuasaan rakyat. Hak-hak itu disebut aktif karena merupakan suatu aktifitas manusia, yaitu hak untuk ikut menentukan arah perkembangan masyarakat.[3]

            Dimulai dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 Tentang Pemilu, yaitu untuk memilih anggota konstituante dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, hak memilih diberikan kepada seluruh warga Negara Indonesia yang sudah berumur 18 tahun atau sudah kawin (Pasal 1 Ayat (1)) yang tidak diperkenankan memilih hanyalah mereka yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih.[4] Keterlibatan perempuan dalam bidang politik sudah ditunjukkan dalam UU tersebut, meskipun tidak dinyatakan secara jelas, akan tetapi dapat ditarik ratio yang terkandung dalam Pasal 1 Ayat (1) tersebut.

            Keterlibatan perempuan dalam bidang politik sebagai motor dalam pemerintahan juga sangat mendukung perempuan ikut serta didalamnya, hal ini tercermin dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang menyatakan bahwa, memberikan hak rekrutmen dalam hal pengisian jabatan politik yang memperhatikan kesetaraan gender. Dalam aturan tersebut ditetapkan kesetaraan gender dalam artian yang bukan asasi akan tetapi gender yang ditentukan oleh Undang-Undang.

            Gender yang di gadang-gadangkan oleh sebagian besar para perempuan telah banyak menimbulkan kesalah tafsiran, gender dalam Kamus Bahasa Inggris merupakan jenis kelamin, namun dalam pengertian secara etimologi dapat dipahami sebagai pembagian peran yang diberikan masyarakat kepada laki-laki dan perempuan yang oleh karena itu ia akan berbeda dari suatu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya, dari suatu wilayah dengan wilayah lainnya dan juga akan berbeda dari waktu ke waktu.

            Dengan demikian gender tersebut bukanlah merupakan hak asasi yang kodrati, yakni hak-hak yang dibawa sejak lahir akan tetapi ia merupakan hak-hak asasi yang diberikan kepada individu oleh hukum.  Gender yang dimaksudkan disini dapat dilihat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu, yakni Pasal 15 huruf d “surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

            Namun demikian apabila kita menganalisa ketentuan tersebut telah menunjukkan dukungan yang sangat kuat dari pemerintah untuk perempuan untuk ikut dalam pembangunan Negara, ini merupakan sisi positif dari aturan tersebut, meskipun dalam kenyataannya kuota tersebut tidak semua partai politik peserta Pemilu tahun 2009 belum dapat memenuhinya, hal ini dapat dipahami karena di Indonesia minat kaum perempuan dalam perpolitikan belum sama dengan perempuan-perempuan di Negara barat, jadi meskipun telah ditentukan oleh UU tentang aturan tersebut masih ada partai yang belum dapat memenuhinya.

            Disisi yang lain aturan yang sudah ditetapkan tersebut memiliki sisi yang menurut penulis, karena dengan aturan itu telah memaksa bagi partai politik untuk memenuhi kuota 30% itu, jadi beberapa partai politik harus memaksakan untuk terpenuhi terlepas dari apakah perempuan tersebut tertarik atau tidak dengan partai politik bukanlah merupakan suatu hambatan, karena yang terpenting adalah kuota itu harus terpenuhi.

            Namun meskipun demikian kiprah perempuan dalam catur perpolitikan sudah harus disetarakan dengan laki-laki karena, setiap warga Negara memiliki hak yang sama tanpa memandang jenis kelamin dan yang lain-lain.

            Aturan lain yang memberikan kesetaraan antara hak laki-laki dan perempuan adalah dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Yakni pada bagian kesembilan dari pasal 45 sampai dengan pasal 51, yang mengatur tentang hak wanita. Pasal 46 “Sistim pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistim pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.[5] Dan dalam Pasal 49 ayat (1) “Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan.[6] Semua aturan-aturan tersebut telah menunjukkan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam bidang politik dan pemerintahan. Selain daripada aturan-aturan yang telah dicantumkan dalam tulisan ini masih banyak aturan-aturan lain yang menentukan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang yang dimaksud.

 

KESIMPULAN

            Setelah menganalisa beberapa peraturan yang ada dapatlah dipastikan bahwa hak-hak perempuan di bidang politik dan pemerintahan yang ada di Indonesia adalah sama, namun demikian yang menjadi permasalahan adalah apakah semua perempuan mampu atau mau melaksanakan hak-haknya seperti yang ditentukan oleh Undang-Undang ?

DAFTAR PUSTAKA

 

A. Bazar Harahap dan Nawangsih Sutardi, Hak Asasi Manusia dan Hukumnya (Edisi Baru), PERCIRINDO, Jakarta, 2007.

 

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga, dan Keempat, Senandung Ilmu Surakarta, Jakarta, 2007.

 

Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2001.

 

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, PT. LP3ES Indonesia, Jakarta, 1998.

 

UU Nomor 10 Tahun 2008, Tentang Pemilihan Umum.



[1] A. Bazar Harahap dan Nawangsih Sutardi, Hak Asasi Manusia dan Hukumnya (Edisi Baru), PERCIRINDO, Jakarta, 2007, hal. 1.

[2] Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat, Senandung Ilmu Surakarta, Jakarta, 2007, hal. 24.

[3] Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2001, hal. 80

[4] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 72

[5] A. Bazar Harahap dan Nawangsih Sutardi, Op.Cit, hal. 135

[6] Ibid

0 comments:

Post a Comment